Adakah Rasa Syukur Itu



Beberapa hari lalu tak sengaja aku bersua seorang kawan lama di sebuah mal. Kami pun baku bincang akrab ihwal nostalgia sampai krisis yang belakangan terus menyelusup ke segenap relung kehidupan negeri ini.
Selepas dari dunia potret-memotret, kawan lama ini alih usaha menjadi usahawan pengobatan herbal. Berkat keuletannya, di tahun 2009 dia telah punya lima cabang dengan omset sekitar Rp8 miliar per bulan. Propertinya ada di banyak sudut di Jakarta ini. Mulai dari rumah, mobil sampai apartemen. Tentu sebuah pencapaian yang luar biasa.
Memasuki tahun 2013 sampai medio 2015, kawan lama ini berkeluh-kesah, omset usahanya turun drastis tinggal Rp2 miliar per bulan. Dia merasa pusing lantaran tiap bulan masih harus mencicil utang bank yang lumayan besar. Dan setahun belakangan dia kena tipu-tipu beberapa koleganya. Mulai dari kena modus investasi entah apa namanya, duitnya Rp3 miliar tidak kembali lagi. Lalu, ikut modus tanam modal usaha tambang batubara, duitnya miliaran rupiah pun amblas tak berbekas. Terakhir, isterinya, tertipu arisan sosialita, uangnya mendekati jumlah Rp1,5 miliar dibawa kabur si pengelola arisan.
Aku manggut-manggut saja ikut prihatin, mendengarkan keluh-kesah kawan lama ini. Keluh-kesah yang seolah tiada rasa syukur atas semua yang ada di depan mata kepala.
Pikirku sederhana dalam menghadapi sebuah deraan cobaan menjalani kehidupan ini. Andai deraan itu menimpaku, ya aku masih tetap merasa bersyukur karena biduk usaha masih berjalan terus menghasilkan pemasukan yang cukup untuk melumasi roda usaha. Masih banyak wirausahawan di luar sana yang jauh lebih tragis nasib usahanya. Masih banyak orang yang tersungkur dihantam krisis dan ditohok oleh mahalnya harga sembako menjelang Ramadhan. Bukankah Tuhan telah berjanji bahwa bilamana kita bersyukur maka Tuhan akan menambah karunia, berkah dan rahmatnya.  
Soal jadi korban berbagai modus dengan kerugian mendekati angka Rp10 miliar, aku cuma berpikir, boleh jadi itulah cara Tuhan mengingatkan umatnya bahwa di setiap rezeqi yang diperoleh ada hak orang lain. Kita mesti menyadari sepenuhnya hak orang lain itu mesti kita keluarkan langsung tatkala rezeqi masuk ke kantong. Kalau kita tidak menunaikan kewajiban mengeluarkan hak orang lain yang menempel pada perolehan rezeqi, maka Tuhan punya cara tersendiri yang tidak diduga-duga oleh umatnya.
Manakala memperoleh rezeqi maka haruslah langsung kita keluarkan hak orang, bisa lewat sedeqah, infak, sumbangan anak yatim, dan (kewajiban) zakat. Sudah banyak kenalan usahawan yang merasakan filosofi semakin banyak kita memberi maka akan semakin banyak menerima. Terkhusus kepada kawan lama yang usahawan pengobatan herbal dan pembaca pada umumnya, mari kita senantiasa bersyukur dan memberi (berbagi) dalam konteks seluas-luasnya. (*)  

Komentar

ngepop

sisi lain perjalanan mualaf yang masuk Islam karena menikah

Hukum Menagih Utang

Makanan Halal Lebih Sehat Dibandingkan Non-Halal? Ini Kata Ahli