Komisi VIII: Hampir Semua Agama Tolak Pernikahan Beda Agama

Komisi VIII: Hampir Semua Agama Tolak Pernikahan Beda Agama Sejumlah delegasi Asosiasi Sekjen MK se-Asia mengunjungi gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (26/5). Pertemuan untuk mempersiapkan Simposium Internasional dengan tema Constitutional Complaint yang melibatkan 50 negara di Jakarta pada 15-16 Agustus mendatang. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
 
  Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi agama menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak nikah beda agama mesti dihormati oleh semua pihak. Ketua Menurut Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay, faktanya hampir semua agama menolak pernikahan beda agama.

“Kalau dipaksakan membolehkan nikah beda agama dikhawatirkan justru bakal mengganggu keyakinan umat beragama. Membela HAM, tidak boleh mengganggu HAM orang lain,” kata Saleh kepada CNN Indonesia, Senin (22/6).

Saleh mengatakan keputusan MK itu tentunya telah melalui proses pemeriksaan materi perkara secara mendalam. Selain apakah nikah beda agama bertentangan dengan konstitusi atau tidak, para hakim tentu sudah mendengar pendapat para ahli dan juga saksi-saksi yang dinilai terkait secara langsung dengan persoalan tersebut.


Saleh mengaku sependapat dengan argumen hakim yang menyebutkan bahwa pernikahan tidak saja menyangkut persoalan administratif kenegaraan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan spiritual dan sosial. Bahkan, menurut Saleh, persoalan spiritual sangat dominan dalam pernikahan.

Itulah sebabnya, lanjut Saleh, banyak agama yang menyebut bahwa pernikahan adalah peristiwa sakral. Karena itu, peristiwa tersebut harus dilakukan sesuai dengan tuntutan dan pedoman agama-agama yang dianut oleh wargaa negara.

Polikus Partai Amanat Nasional ini menambahkan, selama ini nikah beda agama tidak diperbolehkan. Tidak ada persoalan sosial yang kelihatan menonjol. Bahkan, isu legalisasi  nikah beda agama justru menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Karena itu, posisi MK dalam menolak nikah beda agama sudah tepat dan sesuai dengan keinginan masyarakat.

“Saya kira dalam memutus perkara, MK selalu melihat berbagai hal secara holistik. Termasuk pandangan dan masukan dari masyarakat. Karena setelah diputus, putusannya final dan mengikat. Ini konsekuensi yuridis membawa perkara ini ke MK,” tutur dia.

Batas Usia Perkawinan

Selain menolak nikah beda agama, putusan MK yang mempertahankan batas usia perkawinan paling rendah 16 tahun dinilai juga telah melalui pemikiran dan refleksi yang mendalam. Selain itu, kata Saleh, para hakim tentunya sudah mendengar pendapat para pihak terkait dan juga saksi ahli yang dihadirkan.

Oleh karena itu, ujar Saleh, semua pihak harus menghormati keputusan MK tersebut. Saleh mengatakan, hak pemohon sebagai warga negara telah dipenuhi. Gugatan materi terhadap UU No. 1 tahun 1974 tersebut sudah diproses sesuai hukum.

“Hak para pemohon sebagai warga negara sudah dipenuhi. Gugatan materi terhadap UU No. 1 tahun 1974 tersebut sudah diproses sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada,” tutur Saleh. Hasilnya, dia menegaskan, MK menolak dan keputusan tersebut mesti dihormati dan diindahkan.                                                                                  
Menurut Saleh, jika usia anak dalam perkawinan tetap dinilai tidak sesuai, para pemohon  bisa saja mengajukan legal review terhadap UU tersebut ke DPR. Namun harus diperhatikan bahwa legal review tersebut diyakini bakal memakan waktu yang lama.

Pasalnya, review terhadap UU itu belum masuk baik dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 maupun Prolegnas sampai dengan 2019. “Perlu ada upaya keras dari para pemohon untuk mengajukan hal itu ke Baleg DPR RI,” ucapnya.

Bekas Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini menambahkan, DPR saat ini memiliki pekerjaan rumah banyak dalam bidang legislasi. Karena itu, DPR pasti akan mengupayakan mengejar target yang belum terselesaikan, terutama yang ada dalam Prolegnas.

Selain itu, para pemohon yang hendak melakukan legal review, diharapkan juga menyiapkan naskah akademik yang berisi alasan rasional dan argumentatif tentang perlunya perubahan batas usia perkawinan dari 16 menjadi 18 tahun.

Argumen tersebut tentu harus lebih baik dari yang disampaikan di hadapan sidang MK. “Kalau argumennya sama, tentu akan ada kesulitan sendiri. Apalagi agrumen-argumen yang disampaikan di sidang MK semuanya bisa diakses dari situs MK,” ujar Saleh.(http://www.cnnindonesia.com)

Komentar

ngepop

Ciri-ciri Mati Syahid

Astagfirullah, Anak Band Ini Minta Gitar Saat Sakratul Maut

"Tanda-Tanda Hati yang Mendapat Hidayah"