Pakar Hukum UI: MUI Dalam Fatwanya Melarang Nikah Beda Agama
Kalau orang yang berpindah agama, jelas Dr Neng, misal dari Hindu ke Kristen, itu tidak boleh dinikahi oleh kaum muslimin.
MHTI
Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Dr. Neng Djubaedah (memegang mikrofon) di acara MHTI
Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Dr. Neng Djubaedah, S.H, M.H, Ph.D menegaskan bahwa di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tahun 1981-an telah melarang nikah beda agama, baik antara lelaki atau wanita muslim dengan non-muslim.
“Larangan tersebut kemudian dituangkan
dalam pasal 40 C kompilasi hukum Islam yang isinya lelaki muslim
dilarang menikah dengan wanita non-muslim dan pasal 44 kompilasi hukum
Islam yang menentukan bahwa wanita muslim itu dilarang menikah dengan
lelaki non-muslim. Itu sudah jelas dan mutlak sifatnya,” papar Neng saat
dihubungi hidayatullah.com, Jum’at (19/06/2015).
Neng mengatakan dalam surat Al-Baqarah ada
juga larangan lelaki muslim menikahi wanita non-mulsim. Dan menurutnya,
lelaki adalah calon imam yang harus bertanggungjawab bagi keluarganya,
baik di dunia maupun akhirat.
“Jadi, umat Islam Indonesia ini jangan
hanya melihat surat Al-Maidah saja, tetapi juga coba lihat Al Baqarah
dan hasil ijtihad dari Umar Bin Khatab. Bagaimana dulu beliau berijtihad
melarang lelaki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan alasan
selain politik, juga karena alasan banyak wanita muslimah saat itu.
Sementara di Indonesia saat ini, ada sekitar 200 juta umat Islam, jadi
tidak ada alasan untuk menikah dengan wanita non-muslim,” papar Neng.
Menurut Neng, jika melihat surah Al-Maidah
ayat 5 memang dibolehkan lelaki muslim menikah dengan wanita ahlul
kitab. Namun, penjelasan ahlul kitab dalam ayat tersebut, katanya, ada
beberapa pandangan, pertama yaitu padangan yang menanyakan. wanita ahlul
kitab seperti apa yang boleh dinikahi oleh lelaki muslim, sementara
saat ini wanita ahlul kitab tidak semurni zaman dahulu.
“Kedua, pandangan yang memang membolehkan
lelaki muslim menikahi wanita ahlul kitab. Wanita ahlul kitab itu tetap
bisa dinikahin,” kata Neng mengulang kembali pandangan dari sebagian
kelompok.
Kalau di Malasyia, menurut Neng, berbeda
lagi, sebab ada ketentuan yang membolehkan lelaki muslim menikah dengan
wanita ahlul kitab seperti yang tertuang dalam pasal 10 Undang-Undang
Kekeluargaan Islam, seperti di Kelantan, Kuala Lumpur, Malaka, Selangor,
Johor dan seterusnya.
“Undang-undang itu memang diterapkan dan
dibolehkan lelaki muslim menikahi wanita ahlul kitab, tetapi menurut
mereka wanita ahlul kitab yang boleh dinikahi oleh lelaki muslim itu
adalah wanita ahlul kitab yang nenek moyangnya memang ahlul kitab,”
jelas Neng.
Kalau orang yang berpindah agama, jelas
Neng lagi, misal dari Hindu ke Kristen, itu tidak boleh dinikahi oleh
kaum muslimin. Pernyataan itu diperoleh ketika ia wawancara dengan Ketua
Mahkamah Syariah (MKS) Kelantan, Datuk Daud saat sedang melakukan
penelitian di Malasyia.
“Bahkan mereka banyak yang bertanya kepada
saya kenapa di Indonesia banyak sekali orang nikah beda agama, apakah
di Indonesia memang dibolehkan nikah beda agama,” pungkas Neng. (http://www.hidayatullah.com)
Komentar
Posting Komentar