“... Kursi Allah Meliputi Langit dan Bumi.”



Kokok ayam jantan yang biasa mengiringi datangnya sang fajar di ufuk timur belum terdengar. Kang Surjan (petugas Siskamling perumahan kami di pinggiran Kota Bekasi) juga belum memukul-mukul tiang telepon di depan rumahku sebagai pertanda datangnya jam empat pagi. Ya, jam di dinding kamar baru menunjuk setengah empat dinihari. Sebagaimana biasanya, aku bangun lalu mengambil wudhu lantas mendirikan shalat malam yang ditutup dengan shalat witir.
 Tepat jam empat pagi, benar, Kang Surjan memukul-mukul tiang telepon di depan rumahku. Aku belum beranjak dari hamparan sajadah di satu sudut kamarku. Doa-doa yang sarat permohonan ampunan pada Allah SWT terus kupanjatkan penuh khidmat. Dan, serta-merta dari empat penjuru mata angin, dari pengeras suara masjid dan mushala, datang suara salam, ajakan cepat-cepat bangun, dan lantunan kalimat tauhid saling bersahutan. Aku terus berusaha khidmat dan khusyuk dalam permohonan agar Allah SWT senantiasa menjauhkan diri hamba yang lemah ini dari gelimang dosa, dari godaan setan yang membuat dosa di atas dosa, dan dari neraka yang memberi minum penghuninya dengan air panas mendidih.
 Sekitar jam setengah lima, sontak adzan subuh menggema mengiringi fajar merekah di cakrawala timur. Allahu Akbar … Allahu Akbar …
 Aku pun bangkit dari sajadah di sudut kamarku. Ke luar rumah. Berjalan menuju Masjid At-Taqwa yang berdiri kokoh di tengah-tengah perumahan tempat tinggalku di Jaka Mulya, Bekasi Selatan. Jalanan sepi. Dari gang ke gang begitu senyap. Nyaris tak ada orang yang bergegas menuju rumah Allah. Rasanya, langkahku hanya ditemani rembulan setengah lingkaran yang tampak anggun di langit barat. Mendekati pintu pelataran masjid, barulah terlihat beberapa orang bersarung dan baju koko yang rata-rata berumur di atas 50 tahun berjalan jauh di belakangku. Di dalam masjid, baru tampak satu-dua orang dan seorang muadzin yang sedang mengumandangkan adzan.
 Ash-shalaatu khairun minan nauum … ash-shalaatu khairun minan nauum …
Allahu Akbar … Allahu Akbar …
La ilaha ilallah.
 Lalu, selepas doa usai adzan, aku mendirikan shalat tahiyatul masjid dan shalat sunah qabliyah subuh. Satu dua jamaah terlihat berdatangan bagai air mengalir. Alhamdulillah, puluhan jamaah memasuki masjid. Ketika jam di atas mimbar bergerak di angka 04.55, sang muadzin berdiri melafadkan iqamat.
 Aku lantas berdiri di sisi kiri ruang pengimaman pada saf paling depan. Pak Arif, tetangga dari RT sebelah, maju dan memimpin shalat subuh berjamaah pagi itu. Intonasi dan irama bacaan Al Faatihah di rakaat pertama terasa menyentuh. “... iyyaka na’ budu waiyyaka nasta’in ... (hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan) ...” Tak biasanya aku begitu meresapi ayat demi ayat surat pembukaan Al-Qur’an itu. Terlebih usai membaca Al Faatihah, sang imam membaca ayat kursi. Aku sangat awam bahasa Al-Qur’an. Tapi, lamat-lamat aku masih teringat makna ayat kursi (QS Al Baqarah ayat 255) yang pernah kupelajari semasa sekolah dasar dulu. Ayat, yang menurut penuturan guru agama di sekolahku dulu, memperlihatkan betapa manusia itu begitu lemah, tak berdaya, dan tak tahu apa kehendak Allah SWT atas jalan hidup manusia sebagai hamba sahaya.
 Lepas tahiyat akhir, saat imam membaca salam kedua, aku langsung membaca salam lalu menengok ke kanan. Subhanallah. Di pagi buta itu, 2,5 saf jamaah mengisi Masjid At-Taqwa. Satu saf terdiri sekitar 15 jamaah.
 Tiba di rumah kubuka Al-Qur’an, penggalan ayat kursi “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkah Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. ... Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa-apa yang dikehendaki-Nya. ...”
 Kita (manusia) memang tak pernah tahu, termasuk mengapa akhir-akhir ini banyak bencana dan tragedi. Karena, kursi kita ya sebatas yang kita tempati dan kuasai saja. Penggalan terakhir ayat kursi “... Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (BNS)

Komentar

ngepop

Ciri-ciri Mati Syahid

Astagfirullah, Anak Band Ini Minta Gitar Saat Sakratul Maut

"Tanda-Tanda Hati yang Mendapat Hidayah"