Makanan Halal Lebih Sehat Dibandingkan Non-Halal? Ini Kata Ahli
Pemerintah negara Denmark mengumumkan
akan segera melarang praktik penyembelihan hewan baik secara Halal
maupun Kosher (sebagai informasi, kosher merupakan persyaratan makanan
yang diterapkan oleh Yahudi, seperti halal namun dengan kriteria yang
jauh lebih kompleks) pada Senin (27/7/2015).
Menurut Muslims in Dietetics and Nutrition dilansir time, Rabu (29/7/2015) yang merupakan anggota Academy of Nutrition and Dietetics, makanan bisa dikatakan halal selama tidak mengandung sedikitpun unsur babi (bisa gelatin maupun yang lainnya) dan alkohol.
Rasheed Ahmed, founder sekaligus presiden Muslim Consumer Group (MCG), yang berwenang memberi sertifikat halal makanan dan mengedukasi setiap muslim tentang halal tidaknya makanan mengatakan bahwa kriteria halal tidaknya daging ditentukan sejak ia dipelihara, makanan apa yang diberikan.
Tak hanya itu, lanjtutnya, hewan sembelihan juga dilarang untuk diberi antibiotik dan zat pemercepat pertumbuhan, karena bisa saja antibiotik tersebut megandung unsur babi.
Daging yang halal juga harus disembelih oleh muslim yang mengucapkan doa sebelum melakukan penyembelihan, dan harus dilakukan secara manual dengan tangan, bukan dengan mesin. Setelah disembelih, maka hewan tersebut harus bebas dari darah yang mengalir (muslim dilarang memakan darah hewan).
Ahmed mengakui bahwa kriteria halal yang ia terapkan memang sedikit lebih kompleks dari yang lainnya, sebagai contoh, MCG tidak akan memberi sertifikat halal untuk ikan yang dibesarkan dari peternakan, karena tidak jelas apakah makanan yang diberikan merupakan hasil dari hewan lain. Dalam hal ini, hanya ikan yang ditangkap langsung dari sungai atau lautlah yang diberi sertifikasi halal oleh MCG.
Sebagian orang tentu percaya kalau sertifikasi halal seperti ini membuat makanan menjadi lebih sehat. Namun keyakinan ini justru dibantah oleh Carol O’Neil, profesor nutrisi dan makanan dari Louisiana State University Agricultural Center, yang mengaku tidak memisah-misah antara halal maupun kosher dalam hal kandungan nutrisi yang tersimpan dalam setiap makanan.
“Sulit bagi kami untuk mengetahui apakah ada perbedaan kandungan nutrisi dalam masing-masing makanan yang masuk kriteria halal maupun kosher dan sejenisnya. Belum ada penelitian yang menunjukkan kalau makanan halal dan kosher membuat konsumennya jauh dari kolesterol. Kami belum pernah menemukan studi semacam itu,” demikian kata O’Neil.
Meski demikian, O’Neil menegaskan kalau praktik Halal bisa saja diterapkan untuk lebih memuliakan hewan layaknya manusia. Pernyataan ini pun diamini oleh Ahmed.
“Agama memerintah kami untuk tidak menyiksa binatang, sehingga kami berusaha memperlakukan mereka sebaik mungkin,” terangnya.
sumber: POJOKSATU.id
Menurut Muslims in Dietetics and Nutrition dilansir time, Rabu (29/7/2015) yang merupakan anggota Academy of Nutrition and Dietetics, makanan bisa dikatakan halal selama tidak mengandung sedikitpun unsur babi (bisa gelatin maupun yang lainnya) dan alkohol.
Rasheed Ahmed, founder sekaligus presiden Muslim Consumer Group (MCG), yang berwenang memberi sertifikat halal makanan dan mengedukasi setiap muslim tentang halal tidaknya makanan mengatakan bahwa kriteria halal tidaknya daging ditentukan sejak ia dipelihara, makanan apa yang diberikan.
Tak hanya itu, lanjtutnya, hewan sembelihan juga dilarang untuk diberi antibiotik dan zat pemercepat pertumbuhan, karena bisa saja antibiotik tersebut megandung unsur babi.
Daging yang halal juga harus disembelih oleh muslim yang mengucapkan doa sebelum melakukan penyembelihan, dan harus dilakukan secara manual dengan tangan, bukan dengan mesin. Setelah disembelih, maka hewan tersebut harus bebas dari darah yang mengalir (muslim dilarang memakan darah hewan).
Ahmed mengakui bahwa kriteria halal yang ia terapkan memang sedikit lebih kompleks dari yang lainnya, sebagai contoh, MCG tidak akan memberi sertifikat halal untuk ikan yang dibesarkan dari peternakan, karena tidak jelas apakah makanan yang diberikan merupakan hasil dari hewan lain. Dalam hal ini, hanya ikan yang ditangkap langsung dari sungai atau lautlah yang diberi sertifikasi halal oleh MCG.
Sebagian orang tentu percaya kalau sertifikasi halal seperti ini membuat makanan menjadi lebih sehat. Namun keyakinan ini justru dibantah oleh Carol O’Neil, profesor nutrisi dan makanan dari Louisiana State University Agricultural Center, yang mengaku tidak memisah-misah antara halal maupun kosher dalam hal kandungan nutrisi yang tersimpan dalam setiap makanan.
“Sulit bagi kami untuk mengetahui apakah ada perbedaan kandungan nutrisi dalam masing-masing makanan yang masuk kriteria halal maupun kosher dan sejenisnya. Belum ada penelitian yang menunjukkan kalau makanan halal dan kosher membuat konsumennya jauh dari kolesterol. Kami belum pernah menemukan studi semacam itu,” demikian kata O’Neil.
Meski demikian, O’Neil menegaskan kalau praktik Halal bisa saja diterapkan untuk lebih memuliakan hewan layaknya manusia. Pernyataan ini pun diamini oleh Ahmed.
“Agama memerintah kami untuk tidak menyiksa binatang, sehingga kami berusaha memperlakukan mereka sebaik mungkin,” terangnya.
sumber: POJOKSATU.id
Komentar
Posting Komentar