Perspektif Ahli Hakikat tentang Kiamat Kubra


Dalam perspektif ilmu hakikat kiamat diibaratkan dengan fana dalam tauhid fi’li (perbuatan), washfi (sifat) dan dzati (Zat) serta baqa dengan Al-Haq sesuai dengan tingkatan-tingkatan mereka.

Kalau pemahaman kalangan ahli syariah kiamat kubra dimaknai dengan hancurnya keseluruhan alam raya beserta segala isinya, kiamat kubra menurut ahli tarekat dimaknai dengan terjadinya suasana fana seorang hamba dengan Tuhannya. Sedangkan, kiamat kubra menurut ahli hakikat ketika makhluk bangkit dari kefanaannya lalu mencapai puncak tauhid secara komprehensif (al-tauhid al-tammah) meliputi tauhid sifat (tawhid al-shifati), tauhid perbuatan (tauhid al-af’ali), dan tauhid zat (tauhid al-dzati).

Kiamat kubra terjadi ketika seseorang mencapai puncak tauhid secara utuh dan menyatukan antara sifat, perbuatan, dan zat-Nya. Orang ini disebut mencapai kiamat besar, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu, karena sudah tersingkap baginya tirai-tirai sifat hingga dia tidak menyaksikan dalam wujud ini kecuali satu sifat yang hakiki yang mengalir pada segala sesuatu seperti mengalirnya kehidupan pada badan manusia.

Mengalirnya sifat qudrah pada tindakan manusia (yang dimaksud dengan satu sifat yang direlasikan pada satu zat yang bertindak pada segala sesuatu, seperti anggota tubuh disifatkan dengan sifat qudrah (mampu), maka dia telah sampai pada tawhid sifati (tauhid sifat) dan kiamat wustha maknawi telah terjadi baginya. Inilah makna ucapan para ahli irfan, "Zat terhijab dengan sifat, sementara sifat terhijab dengan perbuatan."

Dari segi tauhid perbuatan (tauhid al-af’al), yang bersangkutan sudah tidak lagi terhijab dengan perbuatannya sendiri karena sudah berada pada puncak kesadaran bahwa hakikat perbuatan, termasuk perbuatannya sendiri, tidak lain adalah perbuatan-Nya. Ia tidak lagi menyaksikan ada perbuatan selain perbuatan-Nya.

Para pelaku (al-fa’il) selain-Nya hanya pelaku semu. Dari segi tauhid, zat (tauhid al-Dzati) yang bersangkutan sudah tidak lagi terhijab dengan dirinya sendiri karena sudah berada pada puncak kesadaran tidak ada sesuatu yang mewujud selain Allah (la maujud illa Allah). Semua yang ada tidak lagi dianggap manifestasi (tajalli)-Nya, tetapi Dia yang sebenarnya disaksikan.

Mereka tidak lagi berada pada posisi dalam hadis: "Sembahlah Allah seperti engkau melihat-Nya" (an ta’bud Allah ka annaka tarahu), tetapi sudah hilang huruf "ka" (seperti) sehingga dipahami sebagai: "Sembahlah Allah sesungguhnya engkau melihat Allah" (an ta’bud Allah annak tarahu).

Kiamat kubra dalam perspektif ilmu hakikat ketika seseorang sudah sampai pada penyaksian bahwa seluruh zat itu abadi (baqa) dengan Zat Al-Haq setelah zat-zat tersebut fana dalam Al-Haq. Mereka memahami firman Allah: "Semua yang ada padanya itu akan fana dan hanya Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal." (QS ar-Rahman [55]:26-27), bukan hancur berantakan seperti pemahaman yang diperkenalkan oleh kalangan ahli syariah tetapi hancur pengertian fana dan baqa’ bersama Tuhannya. 

Mereka memahami bahwa alam ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Zat-Nya sehingga mereka tidak memahami alam ini akan hancur dan yang selamat dan utuh hanya Allah SWT. Kata-kata fan mereka mengartikannya dengan fana yang kemudian baqa’ dengan Al-Haq.

Mereka berpendapat bahwa barang siapa yang tersingkap baginya Zat Al-Haq dan keberadaan-Nya di antara hijab-hijab jamâliyah dan jalâliyah hingga dia sama sekali tidak menyaksikan selain-Nya, bahkan Dia hanya menyaksikan satu Zat yang termanifestasi pada lokus-lokus dari nama-nama-Nya, maka dia telah sampai pada tawhîd dzâtî dan kiamat kubra telah terjadi padanya.

Bagi ahli hakikat yang sudah sampai pada makam Qurb al-faraid (lihat penjelasannya pada artikel terdahulu), menyaksikan makna firman Allah: "…tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (QS Ghafir [40]:16).

Mereka sudah berada pada makam yang menggunakan bukan lagi pendengaran Allah (sam’Allah) untuk mendengar dan penglihatan Allah (bashar Allah) untuk melihat sebagaimana yang dicapai oleh orang-orang yang ada di makam di bawahnya (al-qurb al-nawafil), tetapi sudah sampai kepada makam menggunakan telinga Allah (udzun Allah) untuk mendengar dan mata Allah (‘ain Allah) untuk melihat. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi jarak apa pun dengan Al-Haq, itulah kiamat besar. (Allahu A’lam).

Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)  Syarif Hidayatullah Wakil Menteri Agama RI

Komentar

ngepop

Produk Halal Indonesia Sasar Pasar Jepang

Ghirah dalam agama

Adab Islami Ziarah Kubur