Menaklukkan Animisme Di Kabupaten Paser


Berdakwah di pedalaman Kalimantan membutuhkan tenaga ekstra dan strategi yang jitu. Apalagi masyarakatnya masih animisme. Mohammad Shofwan, 60 tahun, mempunyai kiat bagaimana berdakwah kepada masyarakat yang masih mempercayai roh-roh halus itu.
Tujuan Shofwan ke Paser, Kalimantan Timur awalnya untuk transmigrasi. Datang tahun 1978, ia ingin memperbaiki ekonomi keluarganya. Hanya saja, sebagai lulusan pesantren ia tak bisa tinggal diam menyaksikan kemungkaran terpampang di depan matanya. ”Agama mayoritas masyarakat memang Islam. Namun, mereka masih menganut faham animisme. Mereka meyakini adanya penguasa roh-roh halus,” tutur pria asal Jombang ini.
Hal itu bisa dilihat misalnya ketika ada kematian, maka diadakanlah upacara-upacara dengan membuat api unggun, bernyanyi-nyayi, yang disebut liyan. “Belum lagi kebiasaan buruk sebagian penduduk yang masih gemar berjudi, dan mengkonsumsi makanan haram, seperti babi,” tambahnya.
Fakta-fakta seperti itulah yang mendorong Shofwan bergerak untuk berdakwah. Medan dakwah pria yang rambutnya sudah seperti kapas ini tak hanya di Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Paser. Tapi menembus jauh ke pedalaman. Jaraknya puluhan bahkan ada yang ratusan kilometer. Untuk mencapai daerah tersebut, ada yang harus lewat darat, ada pula yang mesti lewat sungai atau laut. Tak heran, bila Shofwan kadang harus menginap hingga beberapa hari.
Daerah dakwah alumni Pesantren Darul Ulum Jombang ini antara lain Longkis Ulu, Kerang dan beberapa daerah lain. Daerah-daerah tersebut dihuni oleh berbagai suku, seperti suku Pasir, Banjar, Bugis maupun Jawa, yang tentu memiliki berbagai macam latar belakang berbeda. Maka Shofwan perlu hati-hati dalam memilih kalimat yang digunakan dalam menyampaikan tabligh.
Pernah ia memasuki desa yang berada 90 kilometer dari Tanah Grogot, yang amat kental dengan kepercayaan animismenya. Selama ini, dai yang ditugaskan di sana selalu gagal. Mereka tidak berhasil “menaklukan” masyarakat. “Saya diberitahu oleh kepala desa, bahwa kalau ada dai baru, warga akan “mencoba” lebih dahulu. Biasanya yang dijadikan pertanyaan adalah masalah makan daging babi,” Shofwan bercerita.
“Kalau Pak Ustadz keliru menjawab, maka mereka tidak akan menerima Pak Ustadz lagi, sepert ustadz-ustadz yang lain,” demikian Shofwan menirukan ungkapan kepala desa. Pesan kepala desa itu sangat diperhatikan oleh Shofwan. Akhirnya, sebelum memasuki wilayah itu Shofwan mempelajari tabi’at mereka terlebih dahulu.
Benar. Saat awal berceramah mereka sudah bertanya. Tidak hanya itu, bahkan ada seorang yang memikul babi hasil buruan lalu disangkutkan di pagar masjid, dan dikelilingi anjing-anjingnya dengan pakaian berburu yang berlumur darah. Orang tersebut langsung mengikuti taklim, namun tidak masuk masjid. Kemudian ada yang bertanya, ”Apakah Tuan Guru hendak melarang kami makan daging babi?”
Shofwan harus mencari jawaban yang tepat, hingga tidak bernasib sama dengan dai-dai sebelumnya. Apa kata Shofwan? “Saya tidak berhak melarang Anda semua makan babi, bahkan para dai-dai yang lain. Mereka tidak berhak melarang Anda semua makan babi,” jawab Shofwan. Akhirnya merekapun berujar “Ya, jadi Ustadz itu harus begini, tidak melarang-larang orang makan. Tidak seperti ustadz-ustadz lain!” Shofwan menirukan respon jama’ahnya. Selesai? Belum.
Pada kesempatan yang lain Shofwan menjelaskan, bahwa yang melarang makan babi itu bukan para dai, tetapi Zat Yang Menciptakan babi itu. “Yang Menciptakan babi itu mengatakan, kalau kamu makan babi maka kamu masuk naraka, kalau tidak makan, maka masuk surga,” kata bapak empat anak ini.
“Kalau Ustadz, bagaimana?” jamaah mengejar.
“Karena takut masuk naraka, maka saya tidak makan babi, walau rasanya enak. Saya takut karena yang melarang Yang Punya Kehidupan. Kalau yang melarang manusia, saya tidak menggubris,” jawab Shofwan. Penjelasan Shofwan sekaligus mengajarkan masalah tauhid kepada jamaah, bahwa ketaatan mestinya hanya kepada Allah semata. Walhasil mereka pun mulai berpikir, hingga akhirnya menerima Shofwan dan taklim pun berjalan lancar di desa itu.
Suatu ketika, ia juga pernah diundang oleh sekelompok penjudi untuk mengisi ceramah mengenai Isra’ Mi’raj. Hampir sama dalam kasus sebelumnya, ketika sedang menerangkan masalah shalat, salah seorang berdiri dan bertanya, padahal saat itu adalah ceramah umum. “Bagaimana Ustadz, hukumnya orang yang shalat tapi masih main judi?”
Shofwan menjawab, ”Tak apa-apa, kalau masih suka judi, judi saja. Tapi shalatnya jangan ditinggalkan.” Apa kata mereka? “Nah, gini ustadz itu, ustadz kok kerjaannya nyinggung orang. Jangankan berjamaah di masjid, ketemu ustadznya saja mual.”
Tapi, Shofwan harus memberikan penjelasan susulan. Ia lalu membuat sebuah ilustrasi. Ia umpamakan shalat itu sebagai gergaji. Menurutnya, kalau ada gergaji tidak mampu memotong kayu, maka gergajinya harus diasah. Begitu pula shalat, kalau tidak bisa menghentikan judi, maka shalatnya ini perlu “diasah” hingga bisa “memotong/menghentikan” judi.
Untuk menghapus budaya-budaya animisme seperti membuat persembahan-persembahan kepada arwah nenek moyang, Shofwan pun tidak serta merta menggunakan bahasa yang keras.
Terkadang ia juga ikut hadir dalam upacara-upacara itu untuk sekedar tahu. Biasanya, ia kemudian dimintai membaca doa dan pendapat. Dengan begitu, ia bisa memberi masukan dan saran. “Ada yang lebih baik dari hal itu”. Begitu biasanya ia berkata kepada jamaahnya yang masih suka melakukan upacara adat. Dengan begitu, perlahan-lahan budaya itu mulai ditinggalkan. “Saya ingat sabda Rasul Shallalahu alaihi wa sallam (SAW), khatbininasa ala qadri uquluhim. Berkatalah kepada manusia, sesuai dengan kemampuan akalnya,” kata Shofwan yang selain membina masyarakat pedalaman, juga memiliki majelis taklim khusus pegawai Pemda Grogot.
Selain meluruskan penyimpangan-penyimpangan akidah masyarakat, Shofwan mengaku punya pengalaman mendakwahi mereka yang telah murtad. Ia menggunakan pendekatan secara pribadi untuk mengajak mereka kembali kepada Islam. “Saya katakan, bahwa kalau mereka masuk Kristen, siapa yang akan mendoakan orangtua mereka yang sudah meninggal. Karena doa non-Muslim tidak akan sampai,” ujarnya. Dengan demikian mereka kembali. “Tentu itu bukan keran saya, tapi karena hidayah Allah,” Shofwan menegaskan.
Shofwan mengakui bahwa dalam perjalanan dakwahnya banyak sekali rintangan-rintangan yang ditemui. Tetapi hal itu dianggapnya sebagai bumbunya perjuangan. Menurutnya, sebagai pelajaran dan evaluasi dalam berdakwah dan bukan hambatan.
Satu-satunya hambatan yang diakuinya adalah, bahwa dia belum menemukan metode dakwah yang tepat. Pasalnya, banyak jamaahnya yang memiliki problem khusus, yakni rendahnya tingkat intelektualitas mereka. Selain itu kata Shofwan, belum adanya sinergi dalam berdakwah di antara sesama dai. ”Kita masih berjalan sendiri-sendiri,” ujar lulusan Pesantren Daarul Ulum, Jombang.
Luasnya bentangan medan dakwah di pedalaman Kalimantan, membutuhkan jumlah dai yang banyak. Oleh karena itu, walau Shofwan sudah memiliki beberapa kader, ia merasakan bahwa umat masih memerlukan banyak tenaga dai. Siapa berminat mengikuti jejak Shofwan? *Thoriq/Suara Hidayatullah, JUNI 2008.
sumber: http://majalah.hidayatullah.com

Komentar

ngepop

Ciri-ciri Mati Syahid

Astagfirullah, Anak Band Ini Minta Gitar Saat Sakratul Maut

"Tanda-Tanda Hati yang Mendapat Hidayah"