Semut Gula Kecil dan Sepotong Kue
Semut
gula kecil itu tak pernah menyangka bahwa kejadian seperti itu akan
menimpanya. Biasanya aman-aman saja, tatkala kaki kecilnya bergerak
cepat, lalu memanjat, hingga sampailah di puncak sebuah dataran tinggi
yang belakangan ini ia tahu dari temannya bernama : Bolu.
****
Terkadang memang, perbedaan menjadi sebuah alasan untuk kita bisa mengembangkan diri. Berteman dengan segala kalangan adalah menyenangkan. Meminimalisir citra (bukan membuang) eksklusif dari dalam diri yang (mengaku) aktivis dakwah adalah salah satu dari 'pengorbanan' yang harus kita lakukan. Dakwah adalah hak semua orang, tidak hanya untuk kalangan tertentu saja. Agar dakwah merata maka penyebarannya tentu tidak tebang pilih.
Kisah semut di atas mudah-mudahan bisa menjadi refleksi bagi kita semua. Bisa menjadi penyemangat untuk membentuk diri kita lebih baik lagi.
Membaur tidak melebur, mewarnai tidak diwarnai.
Wallahu'alam
sumber: http://www.portalrabbani.com/
Bolu-bolu,
oh indahnya. Tapi jauh lebih indah taburan meses diatasnya, hingga
semut kecil itu hendak menambahkan sebuah peribahasa : ada meses ada
semut. Tapi apalah daya, peribahasa-peribahasa itu adalah kepunyaan
manusia. Buatan manusia. Kejadian yang tak pernah ia sangka-sangka itu
juga buatan manusia, terkait manusia, atau lebih tepatnya karena
manusia.
Pagi itu, kala panas mentari mulai menyingsing dinginnya pagi. Ketika burung-burung diluar sana
riang bernyanyi, saat itu pendar bohlam ruang makan (manusia)
menghilang. Hari sudah terang. Si semut gula kecil yang waktu itu masih
di rumahnya menyadari persediaan makanan untuk beberapa hari kedepan
sudah mulai menipis. Ia tersenyum.
“Saatnya climbing makanan manusia bernama Bolu itu” ujarnya ceria.
Setelah
kalimat itu keluar dari mulut kecilnya, ia berlangkah dengan ceria,
lalu memanjat dan sampai keatas permukaan Bolu itu dengan ceria pula.
Sesampaianya diatas, ia dengan segera mendekat pada sebutir meses yang
jauh lebih besar dari tubuhnya, menciumnya, mencicipi manisnya. Lalu
dengan cekatan, meses itu ia potong menjadi bagian yang kecil-kecil
dengan giginya. Kecil-kecil, seukuran ia sanggup meneteng ke gudang
penyimpanan dalam rumah.
Beberapa
detik berlalu, namun belum sampai satu menit gempa lokal terjadi di
daerah bolu itu. Sebuah besi pipih mengkilat mendarat dipermukaan bolu,
tidak jauh dari tempatnya memagut meses. Ia mendadak cemas, gemetar.
Lantas dipagutnya lebih keras meses itu, lebih keras, lebih keras.
Sesaat gempa reda, namun setelah itu besi pipih tadi mendarat disisi
lain. Gempa lagi. Ia semakin cemas, semakin gemetar. Ia kemudian
istighfar, berkali-kali, berulang kali.
“Astaghfirullah” lirihnya.
Kecemasan
itu mulai berkurang, gemetarnya mulai tenang. Namun tak disangka-sangka
seekor semut berteriak dari sisi lain. Ia kini cemas lagi, gemetar
lagi. Hampir pingsan, tapi seketika permukaan bolu yang ia dan semut
yang berteriak itu injak melayang, memisah dari induknya, mendarat pada
sebuah kotak. Lalu ditutup, tertutup.
“Gempa sudah reda, gempa sudah reda, namun tempat ini agak gelap, pengap” ujarnya.
Ia
masih memagut meses itu, masih dengan keras. Namun semut itu? Semut
yang tadi berteriak? Ia penasaran, ia lihat semut itu. Semut itu… semut
itu semut hitam! Mungkin kakinya terkilir tersebab gempa tadi, atau besi
pipih mengkilat tadi, atau… Ah, andai saja semut itu semut gula
sepertinya, ia akan menghampiri semut itu, menyapanya, bersalaman,
menyanyakan keadaannya, dan beradu pipi dengan menyunggingkan senyuman.
Tapi semut itu semut hitam, tak ada semut yang berlainan jenis saling
menyapa, bersalaman, menanyakan keadaan, apalagi beradu pipi dengan
menyunggingkan senyuman. Tapi mengapa demikian?
“Tapi
mengapa perbedaan menjadi penghalang pertemanan, mengapa? Bukankah
perbedaan adalah cita rasa? Beda untuk dibagi, dikaji. Beda untuk saling
memahami, saling bertukar pikiran tentang solusi atas perbedaan yang
mungkin segelintir darinya perlu diperbaiki” pikirnya.
Semut
itu, semut hitam tadi, matanya kini sayu, tubuhnya lesu. Dalm kotak
gelap, dalam ruang pengap sepertinya ia butuh pertolongan. Oh, tidak!
Bukan sepertinya, ia memang sangat butuh pertolongan. Lalu si semut gula
kecil tadi melepaskan pagutannya pada meses itu, beranjak dari
persembunyiannya, mendekat pada semut hitam itu, kian dekat, semakin
dekat.
Tidak,
tidak. Ia membentak pikirannya. Jangan pikirkan ego. Perbedaan yang
selama ini berdiri kokoh dengan angkuh itu harus dihancurkan. Tembok
pembatas itu, benteng itu. Dan nanti, ketika kotak ini terbuka, ketika
cahaya meluluhkan kecemasan karena kejadian yang tak disangka-sangka
itu, ia akan memapah semut hitam itu keluar, keluar dari kotak, keluar
dari belenggu perbedaan. Sesama semut harus saling bercinta kasih,
saling peduli, saling membantu.
Semut
hitam itu masih seperti tadi : matanya sayu, tubuhnya lesu. Semut gula
kecil itu telah sampai didepannya, mulut kecil semut gula itu berkata :
Temanku yang berkulit hitam disana, aku akan membantumu, tolong jangan
pikirkan egomu. ****
Terkadang memang, perbedaan menjadi sebuah alasan untuk kita bisa mengembangkan diri. Berteman dengan segala kalangan adalah menyenangkan. Meminimalisir citra (bukan membuang) eksklusif dari dalam diri yang (mengaku) aktivis dakwah adalah salah satu dari 'pengorbanan' yang harus kita lakukan. Dakwah adalah hak semua orang, tidak hanya untuk kalangan tertentu saja. Agar dakwah merata maka penyebarannya tentu tidak tebang pilih.
Kisah semut di atas mudah-mudahan bisa menjadi refleksi bagi kita semua. Bisa menjadi penyemangat untuk membentuk diri kita lebih baik lagi.
Membaur tidak melebur, mewarnai tidak diwarnai.
Wallahu'alam
sumber: http://www.portalrabbani.com/
Komentar
Posting Komentar