Semut Gula Kecil dan Sepotong Kue


Semut gula kecil itu tak pernah menyangka bahwa kejadian seperti itu akan menimpanya. Biasanya aman-aman saja, tatkala kaki kecilnya bergerak cepat, lalu memanjat, hingga sampailah di puncak sebuah dataran tinggi yang belakangan ini ia tahu dari temannya bernama : Bolu.


Bolu-bolu, oh indahnya. Tapi jauh lebih indah taburan meses diatasnya, hingga semut kecil itu hendak menambahkan sebuah peribahasa : ada meses ada semut. Tapi apalah daya, peribahasa-peribahasa itu adalah kepunyaan manusia. Buatan manusia. Kejadian yang tak pernah ia sangka-sangka itu juga buatan manusia, terkait manusia, atau lebih tepatnya karena manusia.

Pagi itu, kala panas mentari mulai menyingsing dinginnya pagi. Ketika burung-burung diluar sana riang bernyanyi, saat itu pendar bohlam ruang makan (manusia) menghilang. Hari sudah terang. Si semut gula kecil yang waktu itu masih di rumahnya menyadari persediaan makanan untuk beberapa hari kedepan sudah mulai menipis. Ia tersenyum.
 
“Saatnya climbing makanan manusia bernama Bolu itu” ujarnya ceria.

Setelah kalimat itu keluar dari mulut kecilnya, ia berlangkah dengan ceria, lalu memanjat dan sampai keatas permukaan Bolu itu dengan ceria pula. Sesampaianya diatas, ia dengan segera mendekat pada sebutir meses yang jauh lebih besar dari tubuhnya, menciumnya, mencicipi manisnya. Lalu dengan cekatan, meses itu ia potong menjadi bagian yang kecil-kecil dengan giginya. Kecil-kecil, seukuran ia sanggup meneteng ke gudang penyimpanan dalam rumah.

Beberapa detik berlalu, namun belum sampai satu menit gempa lokal terjadi di daerah bolu itu. Sebuah besi pipih mengkilat mendarat dipermukaan bolu, tidak jauh dari tempatnya memagut meses. Ia mendadak cemas, gemetar. Lantas dipagutnya lebih keras meses itu, lebih keras, lebih keras. Sesaat gempa reda, namun setelah itu besi pipih tadi mendarat disisi lain. Gempa lagi. Ia semakin cemas, semakin gemetar. Ia kemudian istighfar, berkali-kali, berulang kali.
 

Astaghfirullah” lirihnya.


Kecemasan itu mulai berkurang, gemetarnya mulai tenang. Namun tak disangka-sangka seekor semut berteriak dari sisi lain. Ia kini cemas lagi, gemetar lagi. Hampir pingsan, tapi seketika permukaan bolu yang ia dan semut yang berteriak itu injak melayang, memisah dari induknya, mendarat pada sebuah kotak. Lalu ditutup, tertutup.

“Gempa sudah reda, gempa sudah reda, namun tempat ini agak gelap, pengap” ujarnya.

Ia masih memagut meses itu, masih dengan keras. Namun semut itu? Semut yang tadi berteriak? Ia penasaran, ia lihat semut itu. Semut itu… semut itu semut hitam! Mungkin kakinya terkilir tersebab gempa tadi, atau besi pipih mengkilat tadi, atau… Ah, andai saja semut itu semut gula sepertinya, ia akan menghampiri semut itu, menyapanya, bersalaman, menyanyakan keadaannya, dan beradu pipi dengan menyunggingkan senyuman. Tapi semut itu semut hitam, tak ada semut yang berlainan jenis saling menyapa, bersalaman, menanyakan keadaan, apalagi beradu pipi dengan menyunggingkan senyuman. Tapi mengapa demikian?

“Tapi mengapa perbedaan menjadi penghalang pertemanan, mengapa? Bukankah perbedaan adalah cita rasa? Beda untuk dibagi, dikaji. Beda untuk saling memahami, saling bertukar pikiran tentang solusi atas perbedaan yang mungkin segelintir darinya perlu diperbaiki” pikirnya.

Semut itu, semut hitam tadi, matanya kini sayu, tubuhnya lesu. Dalm kotak gelap, dalam ruang pengap sepertinya ia butuh pertolongan. Oh, tidak! Bukan sepertinya, ia memang sangat butuh pertolongan. Lalu si semut gula kecil tadi melepaskan pagutannya pada meses itu, beranjak dari persembunyiannya, mendekat pada semut hitam itu, kian dekat, semakin dekat.

Tidak, tidak. Ia membentak pikirannya. Jangan pikirkan ego. Perbedaan yang selama ini berdiri kokoh dengan angkuh itu harus dihancurkan. Tembok pembatas itu, benteng itu. Dan nanti, ketika kotak ini terbuka, ketika cahaya meluluhkan kecemasan karena kejadian yang tak disangka-sangka itu, ia akan memapah semut hitam itu keluar, keluar dari kotak, keluar dari belenggu perbedaan. Sesama semut harus saling bercinta kasih, saling peduli, saling membantu.

Semut hitam itu masih seperti tadi : matanya sayu, tubuhnya lesu. Semut gula kecil itu telah sampai didepannya, mulut kecil semut gula itu berkata : Temanku yang berkulit hitam disana, aku akan membantumu, tolong jangan pikirkan egomu. 

****

Terkadang memang, perbedaan menjadi sebuah alasan untuk kita bisa mengembangkan diri. Berteman dengan segala kalangan adalah menyenangkan. Meminimalisir citra (bukan membuang) eksklusif dari dalam diri yang (mengaku) aktivis dakwah adalah salah satu dari 'pengorbanan' yang harus kita lakukan. Dakwah adalah hak semua orang, tidak hanya untuk kalangan tertentu saja. Agar dakwah merata maka penyebarannya tentu tidak tebang pilih.

Kisah semut di atas mudah-mudahan bisa menjadi refleksi bagi kita semua. Bisa menjadi penyemangat untuk membentuk diri kita lebih baik lagi.

Membaur tidak melebur, mewarnai tidak diwarnai.

Wallahu'alam

sumber: http://www.portalrabbani.com/

Komentar

ngepop

Produk Halal Indonesia Sasar Pasar Jepang

Ghirah dalam agama

Adab Islami Ziarah Kubur