Hukum Menagih Utang
Jawab:
بسم الله الرحمن الرحيم .وبه نستعين، ولا حول ولا قوة إلا بالله.وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبد الله ورسوله صلى الله عليه وسلم تسليما كثيرا. أما بعد:
Dalam menangani permasalahan menagih hutang manusia terbagi kepada dua kelompok:
Kelompok Pertama: Mereka menyatakan “Jangan malu dalam menagih hutang”.
Pada
kelompok ini mereka memutuskan bahwa kapan saja menginginkan untuk
menagih hutang yang mereka hutangkan kepada orang lain maka mereka
lakukan, ini tentu memberatkan bagi yang hutang, berbeda halnya kalau
sudah ada perjanjian sebelumnya yaitu dengan menentukan jangka waktunya
maka seperti ini tidak mengapa.
Dengan ketentuan ini kita mengetahui betapa pentingnya pemberian catatan sebagaimana yang Alloh Ta’ala katakan:
{يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282].
“Wahai orang-orang
yang beriman jika kalian berhutang piutang dengan suatu hutang sampai
kepada waktu yang ditentukan maka hendaknya kalian menuliskannya,
dan hendaknya seorang penulis diantara kalian menuliskannya dengan
adil”. (Al-Baqoroh: 282).
Bila
sudah ada penentuan waktu kemudian orang yang memberikan hutang datang
menagih hutangnya sebelum waktu tersebut maka dia telah melakukan suatu
pelanggaran:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ} [المائدة: 1]
“Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad kalian”. (Al-Maidah: 1).
Yang kedua: Mereka menyatakan “Lihatlah kepada keadaan kalian (yang memberi hutang) dan keadaan mereka (yang dihutangkan)!”.
Kelompok
yang kedua ini lebih bijak, yaitu “mereka melihat kepada keadaan diri
mereka dan keadaan orang-orang yang hutang kepada mereka”, hal ini
sebagaimana yang datang di dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhoriy dari hadits Abdullah bin Ka’b bin Malik dari Bapaknya,
beliau mengabarkan:
“أَنَّهُ تَقَاضَى
ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا لَهُ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ
صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا
حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللهِ صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ وَهُوَ فِي
بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللهِ صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ
حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: «يَا
كَعْبُ» قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ فَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ:
«ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ» قَالَ كَعْبٌ: قَدْ فَعَلْتُ يَا
رَسُولَ اللهِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ: «قُمْ
فَاقْضِهِ»”.
“Bahwasanya beliau
membayar kepada Ibnu Abi Hadrod suatu hutang beliau kepadanya pada
zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid, lalu
meninggi suara keduanya sampai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
mendengar suaranya, dan beliau di dalam rumahnya, lalu Beliau
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar kepada keduanya hingga membuka kain
tabir pintu kamar beliau, dan beliau menyeru Ka’b bin Malik: “Wahai
Ka’b!”, Ka’b berkata: “Kupenuhi seruanmu wahai Rosululloh”, lalu Beliau
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan tangannya:
“Bayarlah separoh dari hutangmu”, Ka’b berkata: “Sungguh aku
telah melakukannya wahai Rosululloh”, maka Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam berkata: “Berdirilah lalu tunaikanlah”.
Pada hadits ini menunjukan bolehnya bagi seseorang untuk menagih harta yang dia hutangkan kepada orang lain.
Pada hadits tersebut Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan tangannya“Bayarlah separoh dari hutangmu“,
hal ini menunjukan tentang bolehnya membayar hutang secara cicilan, ini
tentu dengan melihat keadaan yang disesuaikan dengan kemampuan yang
ada, dan hal ini bila tidak ada perjanjian sebelumnya.
Kalau ada perjanjian dari sebelumnya misalnya bayar tunai maka harus lakukan.
Apa yang diputuskan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ini juga mengandung pelajaran bagi yang memberi hutang untuk melihat atau mengerti keadaan orang yang dihutangkan.
Kalau
yang memberi hutang masih memiliki banyak harta atau belum membutuhkan
harta yang dia hutangkan kepada yang lainnya maka dia memberikan tangguh
sampai orang yang hutang itu memiliki kemampuan, dan ini masuk dalam
bab ta’awun (bekerja sama) di atas kebaikan dan termasuk sikap yang bijak.
Dan
pada kelompok ini kalau mereka “mengikhlaskan” apa yang mereka
hutangkan kepada orang lain yang tidak mampu membayar hutangnya, maka
ini suatu kebaikan dan mereka mendapatkan keutamaan karena telah
membantu saudara mereka, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«وَمَنْ كَانَ
فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ
مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ».
“Dan barang
siapa yang keberadaannya pada hajat saudaranya maka Alloh pada
hajatnya, dan barang siapa membebaskan dari seorang muslim terhadap
suatu kesulitan maka Alloh membebaskan darinya suatu kesulitan dari
kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy dan Muslim dari hadits Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhuma.
Dengan keutamaan seperti ini maka Abu Qotadah Al-Anshoriy Rodhiyallohu ‘anhu memberi jaminan untuk membayarkan hutang seorang shohabat yang meninggal, Jabir Rodhiyallohu ‘anhu berkata:
“كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يُصَلِّى عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ
دَيْنٌ فَأُتِىَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ: «أَعَلَيْهِ دَيْنٌ». قَالُوا: نَعَمْ
دِينَارَانِ. قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ». فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ
الأَنْصَارِىُّ: هُمَا عَلَىَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَصَلَّى عَلَيْهِ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم”.
“Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak
mensholatkan seseorang meninggal yang dia memiliki hutang.
Didatangkan kepada beliau dengan seorang jenazah, maka beliau berkata: “Apakah dia memiliki hutang?”, mereka menjawab: “Iya, dia memiliki hutang dua dinar”, maka beliau berkata: “Sholatlah kalian untuk saudara kalian!”. Maka Abu Qotadah Al-Anshoriy berkata: “Dua dinar itu aku yang akan bayar wahai Rosululloh, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mensholatkannya”.
Pada hadits ini terdapat dua permasalahan:
Pertama: Hutang teranggap
suatu beban berat bagi seseorang, baik ketika hidupnya atau
setelah matinya, maka hendaknya seseorang berhati-hati dalam masalah
ini, dan tidak bermudah-mudahan dalam masalah hutang melainkan kalau
memang darurot dan mengharuskannya untuk hutang.
Kedua: Keutamaan bagi yang membayarkan hutang saudaranya, hal ini sebagaimana Rosululloh Shollallohu’Alaihi wa Sallam dahulu memberikan jaminan bagi yang hutang, Jabir Rodhiyallohu ‘anhu berkata:
“فَلَمَّا فَتَحَ
اللَّهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «أَنَا أَوْلَى
بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ فَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ
وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ».
“Tatkala Alloh telah membukakan (pintu kemenangan) kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka beliau berkata: “Saya
lebih utama terhadap setiap mu’min dari dirinya, maka barang siapa
meninggalkan hutang maka aku yang akan membayarnya, dan barang siapa
meninggalkan harta maka harta itu untuk para pewarisnya”.
Maka suatu keberuntungan bagi siapa yang meringankan beban saudaranya dengan membayar hutangnya.
Dan
juga suatu kebanggaan dan kesejahteraan bagi yang memiliki harta banyak
yang dia suka menghutangkan hartanya kepada orang lain, kita katakan
demikian karena orang yang menghutangkan hartanya kepada orang lain
otomatis dia telah menabung suatu tabungan yang akan menghasilkan dua
bunga sekaligus; di dunia dia akan mendapatkan ganti ketika orang yang
hutang membayar hutangnnya dan di akhirat dia mendapatkan pahala karena
telah membantu saudaranya.
Kami
menjelaskan seperti ini jangan kemudian disalah fahami atau
dimanfaatkan yaitu dengan bermudah-mudahan dalam berhutang, karena
sebagian orang tidak mau berusaha ya’ni tidak mau bekerja namun senang
hutang ke sana kemari dengan niat tidak dibayar, ini adalah perbuatan
batil.
sumber: https://ashhabulhadits.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar