Irene Handono, Calon Biarawati yang Membelot
Saya lahir dari keluarga Katolik yang taat, 45 tahun yang lalu di
Surabaya, Jawa Timur. Nama asli saya Han Hoo Lie, tapi biasa dipanggil
Ireni. Sejak kecil saya sudah mendalami agama. Ketika SD saya ikut
privat agama di biara, dan itu berlangsung hingga saya SMP kelas dua.
Mungkin, lantaran sering bergaul dengan para suster di biara itu, dalam
diri saya timbul keinginan untuk menjadi seorang suster (biarawati).
Dalam
pandangan saya, alangkah mulia dan sucinya seorang biarawati itu,
karena dia telah mengabdikan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dengan
kesederhanaan hati dan penuh kasih sayang mereka membimbing orang-orang
ke arah iman Yesus Kristus. Sungguh, saya ingin sekali seperti mereka.
Keluarga saya mendukung sepenuhnya cita-cita saya itu.
Maka,
untuk mewujudkan cita-cita itu, sejak kecil saya sudah aktif dalam
kegiatan gereja. Karena aktivitas saya itulah, sejak kelas satu SMA saya
sudah terpilih sebagai Ketua Presidium Yunior Ligio Maria. Organisasi
ini bergerak dalam bidang karya, kerasulan, dan do’a. Begitu tamat SMA,
saya langsung masuk ke sekolah susteran (biarawati) di Bandung.
Selama
menempuh pendidikan di sekolah biarawati itu, selain mengikuti kuhah di
biara seperti umumnya para calon suster maupun suster muda, saya
bersama salah seorang teman diberi tugas khusus untuk kuliah di Institut
Filsafat dan Teologia Bandung. Saya tidak tahu mengapa saya yang diberi
tugas itu. Memang saya akui, bahwa di antara teman-teman di biara itu
sayalah yang paling kritis. Kalau ada sesuatu yang nnenurut logika saya
tidak nalar, selalu saya tanyakan. Itulah sifat saya sejak kecil.
Salah
satu yang pernah saya tanyakan adalah konsep trinitas (Tuhan Bapak,
Tuhan Anak, dan Roh Kudus). Juga status Yesus sebagai Tuhan-kalau memang
Yesus itu Tuhan-mengapa tatkala disalib is memanggil-manggil, “Eloy…
Eloy…, lama sabakhtani?” (Allah… Allah…, mengapa Engkau tinggalkan aku?
(Markus 15 ayat 33)).
Dari
jawaban jawaban yang diberikan, semuanya tidak memuaskan hati saya.
Jika saya ingin bertanya lagi, mereka selalu memotong, “Jangan
dipertanyakan lagi, yang penting kamu beriman dan yakini dalam hati.
Itu sudah cukup.” Akhirnya saya diam, meskipun belum puas. Karena
Institut Filsafat dan Teologia ada mata kuliah studi-perbandingan agama,
maka saya pun mempelajari agama-agama yang ada, termasuk Islam. Sejak
saat itulah saya mulai membanding-bandingkan, misalnya antara Islam dan
agama saya.
Tidak
terhitung jumlahnya buku-buku Islam yang saya baca. Cuma, semua buku
itu karangan orang-orang di luar Islam. Entah mengapa, ada larangan
buku-buku Islam yang ditulis orang Islam masuk ke perpustakaan kami.
Untungnya, sejak berangkat dari Surabaya dulu saya sudah membawa
Al-Qur’an dan terjemahannya dari rumah. Saya juga heran, kok dulu sempat
membawa AI-Qur’an. Mungkin sudah takdir Allah.
Mempelajari Al Qur’an
Terjemahan
Al-Qur’an itulah yang kemudian saya pelajari secara sembunyi-sembunyi
di biara. Entah mengapa, saya begitu tertarik dengan Al-Qur’an itu.
Mungkin karena besarnya keinginan saya untuk membandingkannya dengan
Injil. Belum banyak yang saya pelajari, tiba-tiba saya menemukan surat
al-Ikhlas. “Katakanlah (hai Muhammad) Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak, dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan Dia “
Secara
tidak sadar, setelah membaca surat al-Ikhlas itu hati saya mengakui,
inilah kosep ketuhanan yang sempurna, sederhana tapi gamblang.
Meskipun
demikian, bukan berarti kemudian saya bergegas masuk Islam. Pengakuan
akan kesempurnaan konsep ketuhanan Islam itu hanya mengendap dalam
pikiran. Saya pun terus mempelajari Al-Qur’an hingga ketemu surat
Al-Hujurat ayat 13. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang-orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
orang-orang yang bertakwa.”
Apa
yang tertangkap dalam pikiran saya pada waktu itu? Ah, Al-Qur’an ini
mengada-ada. Mana mungkin orang seluruh dunia disuruh saling berkenalan?
Tetapi anehnya, pikiran saya justru terangsang dengan ayat tersebut.
Saya ingin tahu apa maksud Al-Qur’an mengatakan seperti itu. Sava
berdialog dengan diri sendiri untuk mencari jawabannya. Saya
renung-renungkan, bukankah avat itu menunjukan bahwa Islam itu
universal. berlaku untuk semua bangsa dan suku?
Ialu
berbagai pertanyaan timbul dalam benak saya, siapakah pengarang
Al-Qur’an itu, dan sudah berapa kali mengalami penyempurnaan? Pertanyaan
itu timbul karena kitab-kitab suci yang lain sudah mengalami
penyempumaan demi penyempurnaan dari masa ke masa. Lalu, mengapa kitab
suci ini diberi nama Al-Qur’an?
Betapa
terkejutnya saya setelah tahu dari membaca buku bahwa Al-Qur’an itu
tidak pernah mengalami penyempurnaan. Demikian pula namanya bukan hasil
pemberian seseorang sebagaimana Injil yang nama-namanya diambil dari
penulisnya. Al-Qur’an teryata wahyu langsung dari Allah, dan Allah pula
yang memberi nama kitab itu Al-Qur’an.
Saya
mulai yakin akan kebenaran Islam. bagi saya Islam bukan agama buatan
manusia yang bernama Muhammad sebagai mana ditanamkan kepada saya sejak
kecil. Islam adalah agama ciptaan Allah.
Masuk Islam
Namun
sampai sejauh itu, saya masih belum mau berikrar untuk menjadi seorang
muslim. Masih ada perasaan gengsi dalam diri saya. Sebab, image yang
tumbuh di lingkungan saya adalah bahwa umat Islam itu bodoh, miskin,
kumuh, dan suka amuk. Anggapan seperti itu tergurat kuat dalam benak
saya.
Namun,
agaknya Tuhan punya ketentuan lain. Dalam suatu perjalanan ke Bandung
saya mengalami musibah kecelakaan. Karena kecelakaan itu, mau tidak mau
saya mengambil cuti dari biara, pulang ke Surabaya. Setelah sembuh saya
sempat kuliah di Jakarta mengambil jurusan sosial kemasvarakatan.
Mungkin karena banyak bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa Islam,
penilaian saya terhadap Islam menjadi lebih objektif. Dan, sejak itulah
saya sudah tidak berniat lagi untuk kembali ke biara. Saya merasa biara
bukan tempat yang cocok buat s
aya. Maka, pada saat pulang ke Surabaya saya segera memutuskan tidak akan kembali ke biara.
aya. Maka, pada saat pulang ke Surabaya saya segera memutuskan tidak akan kembali ke biara.
Secara
kebetulan, saat itu saya bermimpi yang sama beberapa kali. Dalam mimpi
saya itu, seolah-olah teman-teman di biara berbaris ke suatu arah,
sedangkan saya sendiri berbaris ke arah yang berlawanan. Mimpi seperti
itu berlangsung sampai beberapa hari. Ditambah lagi, di dalam mimpi itu
ada suara yang seakan-akan membisikan bahwa umur saya tinggal 40 hari
lagi.
Pada
malam berikutnya suara itu membisikan umur saya tinggal 39 hari. Setiap
hari selalu berkurang satu hari. Begitu seterusnya. Saya
bertanya-tanya, apakah ini suatu kebetulan atau firasat tertentu? Orang
tua saya bingung ketika saya ceritakan mimpi saya itu. Berbagai jalan
mereka tempuh untuk mengusir mimpi “aneh” itu. sampai-sampai orang tua
saya menyelenggarakan slametan bubur sengkolo. Maksudnya untuk menolak
bala.
Akan
tetapi, walaupun sudah dislametin, toh malamnya tetap saja datang hal
yang sama seperti kemarin. Demikian pula hari-hari berikutnya , sampai
waktu 40 hari itu habis. Akhirnya saya berpikir praktis saja, “Apalah
artinya sebuah mimpi. Toh, saya masih hidup meski ‘umur’ saya telah
berakhir menurut mimpi itu.”
Namun,
satu hal yang tidak bisa saya ingkari adalah suara hati saya sendiri.
Suara hati itu selalu membisikkan, “Kalau memang kamu mengakui kebenaran
Islam, mengapa kamu tidak beralih dan tidak mampu memeluk agama Islam?
Apakah selamanya kamu akan mendustai nuranimu sendiri? Apakah kamu akan
terus berada di persimpangan jalan?” Itulah bisikan-bisikan suara hati
saya.
Lama-lama
saya tak kuat lagi membohongi nurani saya sendiri. Akhirnya, sehari
menjelang puasa Ramadhan, tepatnya 11 tahun yang lalu saya pun berikrar
menjadi seorang muslim di Masjid al-Falah, Surabaya. Kini, sampai mati
pun saya ingin tetap sebagai muslim, meski rintangan menghadang jalan
hidup saya.
sumber: kisahmuallaf.com
Komentar
Posting Komentar