Malu sebagian dari Iman


30AGU
Rasulullah saw pernah mengatakan, bahwa malu adalah sebagian dari Iman. Berarti mereka yang merasa beriman mutlak harus memelihara rasa “malu”. Mengapa ? Karena orang yang tidak punya “malu” lebih cenderung untuk berbuat maksiat. Agama sudah menetapkan norma-norma yang melarang penganutnya untuk berbuat sesuatu yang melanggar aturan yang ada. Demikian juga dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Yang semuanya itu bersifat membatasi gerak dan langkah kita agar tidak “tergelincir” ke dalam sebuah permasalahan yang akan merugikan kita kelak di kemudian hari.
Setiap orang yang beriman menanam sebatang pohon “malu” pada dirinya. Logikanya, semakin hari tentunya harus semakin kokoh dan semakin kuat akarnya. Semakin malu dan semakin alergi terhadap perbuatan maksiat. Karena perbuatan maksiat mendekatkan kita kepada kekufuran. Tapi yang kita lihat selama ini, perkembangan budaya “malu” semakin hari semakin luntur. Satu demi satu dahan dan ranting pohon “malu” yang kita tanam bersamaan dengan keimanan kita patah dan jatuh berguguran. Seiring dengan melemahnya kekuatan Iman yang kita miliki. Yang menyebabkan kekuatan ibadah kita juga loyo alias lunglai. Tak berdaya dengan bujukan setan yang mengajak kita untuk meninggalkan rasa “malu”
Bagi umat muslim yang tidak melaksanakan perintah yang wajib seperti shalat, zakat dan puasa saja seharusnya sudah merasa malu. Tapi yang kita saksikan saat ini, betapa banyak orang yang mengaku dirinya Islam tapi begitu enggan melaksanakan shalat. Diwaktu-waktu shalat dengan santainya bercengkerama di warung-warung. Bahkan disaat puasa ramadhan banyak yang dengan santai dan cuek makan-makan ditengah-tengah orang yang berpuasa. Sepertinya tidak ada beban moral sedikitpun pada diri mereka. Seperti tidak ada rasa malu lagi pada diri mereka. Padahal sudah jelas kalau mereka melanggar kewajiban atau aturan agama. Tapi seperti kita lihat, pemandangan sehari-hari yang kita temui memang demikian.

Belum lagi pemandangan yang lain seperti mereka yang setiap hari bermabuk-mabukan di warung-warung pinggir jalan atau di sudut-sudut kampung. Dengan bangganya mereka memperlihatkan sebuah atraksi yang berlawanan dengan anjuran agama. Kadang juga dibarengi dengan aktifitas perjudian secara “halus” agar tidak mudah di endus oleh aparat keamanan. Juga kadang membuat keonaran dengan saling baku hantam antara sesama teman pemabuk. Kadang juga mengganggu pejalan kaki yang lewat di depannya. Kadang juga “memalak” sejumlah uang kepada siapa saja yang lewat.
Mereka yang melakukan hal seperti ini sudah jauh dari kata “malu”. Sementara disamping kanan kirinya warung kadang juga berdiri mushala atau langgar yang sudah pasti dipergunakan orang-orang untuk shalat. Tapi mereka tidak pernah perduli. Walaupun adzan berkumandang, aktifitas mereka tetap saja jalan terus. Sepertinya hidup ini harus seperti yang mereka kerjakan. Tertawa-tawa sambil kadang berteriak keras. Padahal suara musik yang terdengar kadang sudah begitu keras. Mereka tidak pernah merasa kalau orang-orang sekitarnya tidak ada yang merasa senang dengan tingkah laku tersebut.
Demikian juga dengan pakaian yang banyak dikenakan oleh perempuan saat ini. Dada, lengan dan paha sepertinya bukan lagi merupakan bagian tubuh yang wajib tertutup. Mereka mengenakan pakaian minim di tempat-tempat umum dengan begitu percaya diri. Bahkan merasa bangga menjadi pusat perhatian kaum laki-laki yang menyukai ketelanjangan. Bukan hanya di layar kaca, tapi dalam kehidupan yang sebenarnya pamer aurat wanita sudah menjadi trend. Banyak wanita saat ini yang tidak lagi memperdulikan norma-norma agama. Seenaknya sendiri melanggar hukum Allah tentang maksiat pamer aurat.
Meskipun banyak juga wanita yang sadar tentang keimanan dengan tunduk dan patuh pada perintah agama tentang menutup aurat, tapi jauh lebih banyak lagi wanita yang merelakan dirinya menjadi bagian dari “pemeran” pameran aurat. Padahal awalnya mereka hanya meniru wanita-wanita yang lain. Dan yang tidak mereka sadari bahwa wanita-wanita yang mereka ikuti itu adalah wanita-wanita diluar Islam. Wanita-wanita yang sebenarnya minoritas, tapi dengan bebas dan leluasa mereka menawarkan trend busana setengah telanjang di hadapan kaum mayoritas muslim. Ironisnya juga, pemimpin-pemimpin yang memerintah negeri ini seakan menutup mata terhadap aturan Islam yang dianutnya.
Pergaulan bebas para remaja saat inipun sudah diambang batas lepasnya rasa “malu”. Mereka tak malu lagi untuk berpelukan mesra dengan pasangannya di depan umum. Berdua-duaan di tempat yang sepi yang banyak tersebar di berbagai sudut kota. Dan mereka kadang tidak malu lagi untuk mendemonstrasikan sesuatu yang sebenarnya tabu bagi adat ketimuran, apalagi norma Islam. Bahkan kadang juga dibumbui dengan minuman beralkohol yang menyebabkan berhentinya kerja akal. Yang akhirnya akan menjurus pada perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan atau norma-norma agama.
QS. Al Maa`idah 90.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴿٩٠﴾
Yaa ayyuhalladziina aamanuu `innamal khamru wal maysiru wal anshaabu wal azlaamu rijsun min `amalisy syaithaani fajtanibuuhu la`allakum tuflihuuna”.
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Padahal jelas kalau khamr, judi dan undian nasib itu larangan Allah. Juga menutup aurat itu adalah perintah Allah. Tapi justru kita melihat dengan jelas perkara-perkara seperti itu akrab dengan sebagian besar orang yang mengaku dirinya muslim. Undian sms banyak dilakukan oleh station tv pada jam-jam malam disaat orang banyak yang sudah tidur. Dan kita juga melihat umat muslim yang berusaha untuk memerangi mereka yang berbuat maksiat secara terang-terangan juga mendapat perlawanan dari aparat. Juga banyak masyarakat yang mencela. Bukankah sikap seperti ini bisa dikatakan sebagai sikap mendukung penolakan hukum Allah.
Kita ini tak ubahnya seperti mayoritas umat muslim yang tidak setuju dengan berlakunya hukum Allah yang kita Imani. Kita lebih memilih Agama yang kita anggap paling baik dengan aturan-aturan yang pro terhadap hukum orang-orang kafir. Kita ini seperti orang mabuk. Mengharapkan surga dengan aturan-aturan ahli neraka. Kehidupan yang kita jalani ini kelihatan begitu aneh. Aneh sekali. Allah memerintahkan kepada kita untuk kaffah dalam menerima Islam, tetapi kita tidak pernah mau menerima tawaran-tawaran hukum yang di produksi oleh Allah sendiri. Dan lebih memilih hukum yang bersembunyi dibalik “hak-hak asazi manusia. Padahal Allah lebih berhak kepada kita. Benar-benar aneh sekali.
Sebuah contoh lagi, Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidak akan beruntung orang-orang yang mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpin mereka” tapi ada sebagian besar masyarakat kita begitu ngotot untuk menampilkan seorang perempuan sebagai penguasa. Ini menunjukkan bahwa kita sudah tidak percaya lagi terhadap kebenaran Hadist. Kita tidak malu lagi untuk melanggar anjuran Rasulullah. Bahkan sampai saat inipun masih ada usaha yang begitu besar untuk memaksakan seorang perempuan menjadi penguasa di negara yang mayoritas berpenduduk umat muslim. Mudah-mudahan kita bisa menghindarkan diri dari apa yang pernah di sabdakan oleh Rasulullah saw.
Budaya-budaya lain yang tidak lagi menghiraukan rasa malu juga telah menyentuh berbagai aspek kehidupan kita. Pungutan liar yang terjadi di jalan-jalan oleh aparat yang berkaitan dengan “jalan”. Dibanyak instansi pelayanan masyarakat juga tidak mau kalah dalam memungut uang kecil dari kantong rakyat. Meskipun tidak seberani dulu, tapi praktik-praktik seperti itu masih dapat kita temui. Karena sebagian kecil masyarakat memang masih menghendaki adanya jalan-jalan tol untuk pengurusan surat-surat penting di instansi pemerintahan. Walaupun usaha ke pembersihan korupsi terhadap pejabat tinggi juga sudah berjalan, tapi masih belum bisa menghilangkan budaya “tidak punya malu” yang sudah terlanjur jadi pakaian sehari-hari.
Budaya malu memang telah berkembang. Semula malu adalah benar-benar malu, sehingga berujung pada kejujuran. Tapi malu-malu kucing atau malu tapi mau juga masih eksis di sebagian besar hati kita. Bahkan bisa dijadikan komoditi dalam tawar menawar besarnya nominal uang yang akan berpindah tangan. Dan budaya tidak tahu malu adalah hilangnya budaya jujur dan berganti dengan budaya “rai gedheg” atau muka tembok. Yang menjadi penyebab semua peristiwa amoral dan korupsi terjadi di bumi kita tercinta. Yang seharusnya menjadikan budaya malu sebagai kebanggaan bangsa bersama dengan kuatnya adat budaya timur yang sopan, santun dan berwibawa.
Sebagian kecil masyarakat masih memegang teguh budaya malu dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang melanggar norma agama. Dengan mempelajari ilmu agama dan menambah keyakinan tentang kebenaran isi kitab Al Qur`an serta sunnah-sunnah Rasulullah. Karena hanya dengan itulah mereka bisa mendapatkan kembali martabat kemanusiaan yang dibawa oleh agama Islam. Yang perlu kita ingat lagi adalah, Islam datang untuk mengangkat derajat kaum perempuan yang semula tidak berharga sama sekali menjadi sejajar dengan laki-laki dimata manusia dan di hadapan Allah. Dan itu sudah nampak sebelum tergerus kembali oleh budaya-budaya yang merusak moral dari orang-orang kafir yang mengingkari Islam.
Begitu lemahnya keimanan yang ada di dalam hati saudara-saudara kita. Sehingga dengan begitu mudahnya mereka terbujuk untuk mengkonsumsi khamr produk negara asing, obat-obatan terlarang produk asing yang kemudian bahkan di produksi di dalam negeri. Film-film biru perusak moral juga dengan mudah mereka terima. Bahkan akhir-akhir ini malah di produksi sendiri dengan bintang-bintang lokal. Budaya setengah telanjang yang sebenarnya hanya menjadi bahan komoditas seks dan eksploitasi tubuh perempuan, juga dengan mudah mereka ikuti. Ini membuktikan bahwa hilangnya malu bisa menjadi pemicu rusaknya moral.
Tidak ada cara yang lebih efektif kecuali membekali diri dengan ilmu agama. Membentengi diri dengan kuatnya Iman dan mengikhlaskan diri untuk menghamba hanya kepada Allah sambil menunggu ajal datang menjemput. Masing-masing diri bertanggung jawab terhadap diri dan keluarganya. Dengan menanamkan sebuah kepastian bahwa sepanjang umur hidup ini adalah cobaan dari Allah untuk menentukan kehidupan yang akan datang. Dan menanamkan kekuatan Iman bahwa apa yang tertulis dalam kitab Al Qur`an adalah sebuah kebenaran. Sehingga kita akan lebih berhati-hati dalam menyikapi semua persoalan yang ada di depan mata kita.
Memelihara rasa malu dengan mempertinggi kualitas Iman adalah sebuah keharusan bagi setiap diri yang mengaku beragama Islam. Karena berhentinya pertambahan Iman akan menjadikan rasa malu berubah menjadi “malu tapi mau”. Sekali kita “mau”, akan sulit untuk keluar dari jerat kata “tidak punya malu”. Dan jika sudah sampai pada tahap tidak punya malu berarti wajah yang menempel di kepala kita ini ibarat sebuah topeng. Topeng yang didalamnya tersembunyi sifat-sifat kera atau monyet. Yang semua perilakunya tidak pernah terlepas dari perilaku monyet. Yaitu sebuah perilaku moral yang tidak pernah memperdulikan orang lain walaupun saat itu dia dalam keadaan telanjang.
Dan jika rasa malu sudah tidak lagi menghuni perasaan kita, maka kehidupan kita bisa dipastikan akan amburadul dari segi spiritual. Hampir pasti pula kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mengingkari ajaran agama. Juga akan semakin menunjukkan kalau kita ini beragama hanya sekedar untuk “kedok”. Untuk menutupi diri kita yang sebenarnya merupakan pewaris sifat-sifat kera dan babi. Atau minimal kita akan masuk dalam golongan orang-orang munafik “asli”. Karena Islam kita sama sekali tidak berakibat pada sikap atau perilaku Islami yang begitu indah. Yang mengangkat harkat dan martabat benar-benar sebagai makhluk Allah yang paling sempurna.
Pakaian Islam yang telah disempurnakan dengan tertutupnya aurat dan hiasan perilaku yang baik sedikit demi sedikit luntur. Lalu terlolosi semua oleh tangan kita sendiri. Akhirnya, kita lebih memilih untuk “turun derajat” menjadi makhluk berderajat lebih rendah. Yaitu binatang. Yang dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak memerlukan “malu”. Yang penting bisa “makan” dan melampiaskan syahwat. Tidak perduli dengan siapa dan diperhatikan banyak orang. Dan inilah pilhan sebagian besar kita yang menjunjung tinggi “hak asazi manusia” secara unlimited.
Mudah-mudahan diantara kita yang masih mempunyai sisa-sisa rasa malu segera menyadari tentang keIslaman kita. Hingga kita tidak semakin jauh hidup dalam kemerosotan Iman. Dengan banyak beristighfar kepada Allah dan menjaga Iman dengan mempelajari ilmu agama, insya Allah kita akan terhindar dari sifat “malu-malu tapi mau” yang sangat berbahaya. Karena mempunyai peran yang besar dalam hilangnya rasa malu pada diri kita. Jauhkan diri kita kepada hal-hal yang bersifat syubhat atau meragukan. Tanyakan kepada orang-orang yang mengerti sebelum memutuskan untuk menerima hal-hal yang baru yang tidak kita ketahui halal dan haramnya.
Berpikirlah selalu tentang ciptaan Allah yang membawa bukti-bukti ketauhidanNya. Dan berusahalah untuk selalu mengingatNya dalam keadaan apapun, di saat apapun dan dimanapun kita menginjakkan kaki kita. Insya Allah kita akan terhindar dari bujukan-bujukan setan yang memang tidak pernah merasa puas dan kalah untuk menjerumuskan kita ke dalam jurang keingkaran. Perbanyaklah shalat sunnah, terutama shalat malam. Karena shalat malam membawa kita untuk lebih mudah dan lebih cepat memahami apa yang pernah kita baca dan apa yang pernah kita peroleh dari banyak ustadz di sekitar kita.
Sekian.
(https://gusharton.wordpress.com/)

Komentar

ngepop

Ciri-ciri Mati Syahid

Astagfirullah, Anak Band Ini Minta Gitar Saat Sakratul Maut

"Tanda-Tanda Hati yang Mendapat Hidayah"