Kau Harus Tahu soal Aksi Ini, Nak!
NAK…
Saat Ibu masih muda, baru saja menginjak usia kepala dua. Di Indonesia, telah terjadi riyuh aksi atas nama agama dan negara. Banyak orang geram akan si penista. Dari segala penjuru desa, berbondong-bondong datang ke ibu kota.
Bapak-bapak pemilik jabatan kelabakan, akhirnya semua perusahaan mobil diberhentikan, tidak dibolehkan mengantarkan. Dikira mereka hal ini akan menyurutkan niatan, Maasyaa Allah. Dengan kekuatan, dari yang tak punya pangkatan hingga yang berpendidikan, mereka satukan tekad terus berjuang meski harus berjalan panjang.
Dikiranya lagi mereka akan berjalan sendiri, merasakan letihnya dari ujung kaki hingga hati. Maasyaa Allah.. Dengan ukhuwah islamiah, banyak sambutan dan jamuan dari masyarakat, yang dilewati. Mereka menyambut para mujahid pembela Islam ketika yang lain masih mempertanyakan mengapa Islam harus dibela.
Nak…
Saat itu ibu yakin, banyak yang tidak paham. Bagaimana hukum mengatur si penista, bagaimana konspirasi tak kunjung reda, bagaimana berita dibolak-balik media, bagaimana yang lain berusaha menyingkirkan kita.
Namun tahukah kau Nak? Di balik itu semua masih banyak umat muslim yang bersih nuraninya, ia tak berkoar pada pemerintahan, ia tak protes pada ketidak adilan, namun saat yang dinistakan adalah Al Quran, maka mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan.
Waktu itu, Indonesia dipimpin oleh bapak presiden, kamu bisa lihat perawakannya, kamu bisa lihat cara bicaranya. Santai kaya di pantai. Kata bapak presiden, mereka jauh jalan kaki bukan utk demo, bukan untuk aksi, bukan untuk menyuarakan keresahan. Tapi untuk berdoa bersama.
Kamu lebih cerdas Nak, saat yang berkumpul bukan seratus dua ratus, maka bukan sekedar layaknya istighosah jaman ibu sekolah.
Rumah nenekmu, yang di Jatinangor itu, rumah bukde dan pakdemu, yang di Cibiru itu, rumah Ommu, yang di Soekarno Hatta itu, semua tempat itu menjadi saksı. Semua masyarakat menjadi saksi. Bahwa sepanjang jalannya telah dilalui mujahi mujahid yang siap terdepan membela Al Quran.
Seketika ibu menangis, semua kalangan, semua jenis pekerjaan, semua lapisan, saling menyiapkan hidangan dan keperluan. Tukang parkir itu hanya bisa membelikan beberapa air minum kemasan dari recehan hasil keringatnya. Tukang gorengan itu membiarkan dagangannya tak habis untuk dibeli, namun habis untuk dibagi. Pegawai kantor itu, ijin pada bosnya, mengumpulkan lembaran, dibelikannya peralatan kesehatan.
Tak ada kejadian paling mengharukan, saat mujahid mujahid itu menyuarakan bahwa sumbangan-sumbangan tersebut akan dialokasikan untuk korban penggusuran.
Nak…
Mungkin kini berita indah itu telah dihapus dan dimusnahkan. Agar generasimu tak tahu dahsyatnya kekuatan kaum Muslim. Namun Nak, orang tua teman-temanmu, ibu yakin. Akan masih ingat dan terus ingat kejadian itu. Dan menceritakannya layaknya ibu menceritakan kepadamu.
Bahwa, kita punya kekuatan.[]
Bahwa, kita punya kekuatan.[]
Komentar
Posting Komentar