Memaknai Nama: Panggilan Adalah Do’a yang Indah
“Hmmm… Saya suka nama Yusuf, deh bi…. Pasti ganteng dan sholeh ntar anak kita kayak nabi Yusuf alaihissalaam…”, usulku pada suami, saat mengetahui bahwa calon bayi yang akan kulahirkan nanti adalah laki-laki.
“Ogaaaaah… gak mau, mi…”, eh tiba-tiba suamiku langsung complain, “Dulu ada teman abi namanya Yusuf, tapi dipanggil Ocop atau Ucup… jangan deh mi, yang laen aja yah…”, sambungnya. Memang hati ini merasa tidak ridho dengan panggilan-panggilan yang sembarangan mengubah nama orang, apalagi jika maknanya kurang baik.
Begitu di saat kami berdiskusi sederhana tentang nama anak-anak. Sejujurnya kami punya bahasafavourite yang sama, yaitu bahasa Arab, walaupun hanya bisa pasif, otomatis nama anak-anak harus“arabic”, dan selama ini memang nama-nama indah yang merupakan sifat-sifat Sang Pencipta, nama para nabi, atau pun nama tokoh Islam sering menjadi pilihan untuk nama anak bagi para orang tua masa kini, termasuk kami. Tak lain hal itu adalah do’a dan harapan agar anak-anak dapat mengenal makna dirinya serta makin dekat dengan Robbnya.
Memilih nama yang baik adalah kebutuhan diri kita, selaku makhluk pribadi dan makhluk yang bersosialisasi. Nama-nama yang baik, yang insya Allah dimiliki seseorang berakhlaq mulia, tentunya mencerminkan kepercayaan diri dan komitment yang tinggi dalam adab-adab pergaulan, secara habluminallah dan habluminannaas.
Dalam Islam, anjuran memilih nama yang baik telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW, dalam suatu kisah para sahabat membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu‘Alaihi Wasallam, beliau memberikan nama pada hari itu juga.
Dalam Islam, anjuran memilih nama yang baik telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW, dalam suatu kisah para sahabat membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu‘Alaihi Wasallam, beliau memberikan nama pada hari itu juga.
Kita lihat contoh dalam kisah kelahiran ‘Abdullah bin Az Zubair, ketika Rasulullah SAW mentahniknya“Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama : ‘Abdullah.” (HR.Muslim), juga beliau bahkan pernah mengubah nama Al-‘ashi (yang artinya pembangkang) menjadiAbdullah (Hamba Allah) saat orang tersebut masuk Islam.
Nama memiliki hikmah yang besar, Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa nama harus “bermakna yang indah” sesuai petunjukNYA, Hendaklah pula seseorang menamai anaknya dengan kesesuaian karakter.
Bila anak lelaki, maknai namanya dengan karakter gagah, jantan, penuh keberanian, tekad, dan kemuliaan sebagai pemimpin ummat. Sedangkan bila anak wanita, pilihlah nama “keputrian” yang maknanya sikap ‘iffah (menjaga diri), kesetiaan, ikhlas, dan penuh kesyukuran serta sabar.
Sayangnya, dengan pemahaman yang berbeda-beda serta latar belakang pun tak sama, kebanyakan orang menganggap sepele prihal nama ini. Teringat akan masa sekolah dulu, hampir semua teman sekolahku sejak di bangku sekolah dasar hingga masa kuliah, ada saja yang punya “label” atau nama panggilan istimewa yang digelari oleh teman-teman sendiri.
Dan kebanyakan nama-nama itu memiliki arti yang kurang baik, mungkin yang dipanggil memang tak menyadari akan hal itu, atau merasa bahwa sekedar candaan sehingga tak mempermasalahkannya.
Bahkan di salah satu kelas di sekolahku, ada kelas senior yang dijuluki “kebun binatang”, semua siswa-siswi di dalamnya punya panggilan masing-masing : kambing, onta, kucing, tikus, bebek, macan, ular, dsb sesuai dengan karakter atau julukan dari si teman-temannya, bahkan anak yang “jalannya pelan-pelan” dipanggil “siput”. Astaghfirrulloh…
Temanku yang lainnya bernama “omen”, mirip nama tikus kepunyaan Dono, itu lho yang merupakan tokoh dalam salah satu film komedi Indonesia. Ada pula yang dipanggil “item” karena kulitnya paling gelap di antara teman lain. Ada pula yang dipanggil “buntelan” karena tubuhnya yang gemuk, “cacing” gara-gara kurus, “kiting” gara-gara rambutnya keriting, “boxy” karena botak dan sexy, “sagu” gara-gara pakai bedak sering tebal, “o’on” gara-gara sering dimarahi guru kalau hasil ulangannya jelek, dsb. Yang miris sekali, nama “Arif” berubah jadi yipyip, nama Abdulloh dipanggil Bedol (yg dalam bahasa daerah artinya bolong), nama Ahmad dipanggil Mamat (artinya Mati), ada juga panggilannya “burn”, “gosong”, yang artinya bakar.
Mungkin karena saya adalah orang yang perasa dan sensitive terhadap makna kata, sehingga Saya tak pernah mengikuti gelar-gelar dan panggilan tersebut. Orang tuaku pun pernah mengingatkan, “Jangan mengejek orang lain kalau tak mau diejek…Jangan membalas hinaan kalau memang kita tak sama dengan si penghina, ingatlah…”. Oke, dalam hatiku. Sebab dulunya saya pernah juga bersedih gara-gara diusili teman dengan menghina nama bapakku yang diplesetkan dengan nama merk rokok.
Dan juga kebetulan saya dan kakak-kakak yang cewek semuanya kurus langsing, nah, dulu ada tetangga yang semuanya anak laki-laki. Si kakak tetangga itu adalah kawan sekelas kakakku, si kakak sulungnya juga kawan sekelas kakak sulungku, adiknya adalah kawan sekelasku. Mereka kakak-beradik secara turun temurun mengejek kami kakak-beradik, dengan panggilan “tengkorak hidup”, dan “tiang listrik”, gubraks! Kata mereka, kalau ada angin kencang, tubuh kami tinggal terbang saja, tulang semua.
Namun kami tidak mempedulikan ejekan itu, yah sadar diri juga bahwa saat itu memang toh badan kami kurus, namun yang penting sehat. Nyatanya saat sudah mens-periode sebagai tanda baligh bagi anak wanita, maka tubuh kami berubah, “mengembang” dengan teratur, Alhamdulillah, semua ada masanya. Dan kalau diselidiki lebih lanjut, ternyata “yang ngejek-ngejek” begitu, karena mereka naksir, euy…itu istilah anak muda yah.
Semoga teman-teman tersebut telah memperoleh hidayah Allah SWT dan menghargai makna nama-nama mereka dengan lebih baik. Dan buat generasi remaja sekarang, cobalah merajut kenangan yang lebih indah, jangan sampai menyakiti hati teman-teman atau saudara kita sendiri dengan panggilan yang buruk, ada kalanya panggilan tersebut malah sangat tidak pantas disebut, bahkan panggilan dengan sebutan “setan atau iblis”, naudzubillahi minzaliik.
Alhamdulillah, melalui masa-masa remaja, saya tetap memanggil nama teman-teman dengan “nama asli” mereka, walaupun mungkin mereka sendiri bingung dan merasa lucu atau asing dengan nama itu. Contoh saat si “Omen” Saya panggil Ahmad (sesuai namanya), dia malah tak menoleh.
Namun selanjutnya dia jadi ingat bahwa yang memanggil Ahmad berarti saya, dan karena itulah dia jadi ingat pasti di hari itu mau tukar-pinjam koleksi novel detektif denganku. Ada yang namanya Zahid, tetaplah kupanggil Zahid, bukan jait (jahit) seperti cara teman lain memanggilnya. Juga ada yang namanya Ria (tentulah dimaksudkan bermakna gembira), banyak yang “terpeleset” memanggilnya Riya’, astaghfirrulloh…
Bu Fafa, tetangga kami dulu sempat bingung, saat teman-teman anaknya memanggil yipyiiiip dari depan pintu. Oalah, ternyata ibunya tidak tau kalau nama anaknya “diganti orang sembarangan”, yah…
Kalian yang sudah jadi ibu, tentu kesal kalau nama anak yang sudah bagus-bagus maknanya, eh, dipanggil aneh-aneh oleh orang lain. Mungkin saat itu, begitulah perasaan bu Fafa, lantas dia mengulang dengan sabar dan suaranya lembut sekali, “Arif…Arif, ada temanmu, nak…”, panggilan itu khan do’a, apalagi kekuatan do’a ibunda sholihah, insya Allah kelak si Arif benar-benar menjadi sosok yang arif.
Agar kenangan kita indah di bumi Allah SWT ini, sebaiknya kita saling memanggil dengan nama yang baik. Penggunaan nick-name tentu boleh, namun tetap dilihat maknanya, jangan menggunakan nama yang bermakna buruk.
Panggilan-panggilan dengan penuh kasih sayang di antara suami-istri, saudara, sahabat, tentu akan mempererat ukhuwah serta menambah kemesraan, Rasulullah SAW dan para sahabat pun mencontohkan hal itu, ayah ibuku juga memiliki panggilan special di antara keduanya, hati ini ikut senang mendengar saat mereka saling memanggil.
Ciri kekurangan fisik seseorang jangan sampai diumbar melalui nama, belum tentu teman kita tidak sakit hatinya walaupun dia tak menampakkan kemarahan. Masih lebih baik menggunakan julukan ciri asal daerah, seperti “Al-Jawi, Al-Bantani, Al-Palembani, Al-Indonesia, dll”.
Janganlah sungkan bertanya pada teman kita, “Panggilan yang kamu sukai, pakai nama apa…?”, atau,“Kamu senang tidak kalau Saya panggil dengan namamu yang ujungnya begini…?”, dsb. Jangan pula kita malu untuk menanyakan makna dari suatu nama yang mungkin kita punya ide-ide unik untuk nama anak, tapi malah arti atau maknanya kurang baik.
Kadang-kadang memang perbedaan bahasa pula yang menyebabkan arti berbeda, misalnya ada orang yang tidak tau bahwa “stone” artinya batu. Nama anaknya “stone”, sifatnya keras kepala seperti batu karena dipanggil “batu” tiap saat. Adapun arti “Nada” yang berhubungan dengan musik dalam bahasa Indonesia, namun jika jalan-jalan ke Spanyol, mungkin akan ada yang menertawakan anak anda, sebab“Nada” is Nothing, dalam bahasa Spanyol sering diartikan bodoh.
Juga nama “Rocky” atau Kroky yang biasanya keren, namun di Poland, Roky, Kroky atau krok artinyastep atau move, dimaknai terlalu aktif, seperti suara kodok, melompat-lompat terus tak henti-henti. Berhati-hati pula memberi nama, jangan dengan nama-nama berhala atau serupa dengan nama para pembesar yang kafir.
Artinya kita sebagai orang tua memang harus lebih banyak lagi menggali informasi tentang makna-makna nama ini, ingin sekali di suatu hari anak-anak merasa percaya diri dan selalu optimis saat memahami dengan baik akan makna di balik nama-nama mereka, ataupun di balik panggilan singkat mereka.
Secuil kata berupa nama, Muhammad, junjungan dan idola kita, Rasulullah SAW, manusia yang paling terpuji, ternyata paling banyak nama serupa ini, bahkan stasiun televisi dunia pernah mengupas habis makna nama junjungan kita tersebut. Subhanalloh… Ayat-Nya, “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’:107).
Duhai Azzam, jadilah engkau anak yang bertekad kokoh dan teguh dalam mempelajari ilmu-ilmuNYA, nak… begitulah salah satu harapan kami saat “menemukan” nama yang indah buat si sulung.
Ternyata di usia ke lima tahun, dia menyiapkan nama “Ibrahim” untuk urun saran nama adiknya, semoga mereka kelak benar-benar memahami jati diri sebagai hamba-Nya sebagaimana sosok para nabi yang “namanya” melekat pada diri mereka. Amiin ya Robb.
Semoga Allah SWT meridhoi dan selalu memberikan bimbinganNYA atas usaha-usaha kita dalam mendidik anak, termasuk saat mengawali do’a “pemberian nama” mereka ini. Wallahu ‘alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, salam ukhuwah dari Krakow, 26 febr.2011)
Komentar
Posting Komentar