Sengsara Karena Utang


Aku seorang ibu rumah tangga beranak tiga orang, sebenarnya kehidupan ekonomiku cukup lumayan, bahkan aku dan suami bisa sedikit-sedikit menabung juga membeli tanah beserta rumah. Mumpung anak-anak masih kecil, suami benar-benar memintaku mengelola keuangan dengan baik.
Hingga suatu hari, kami kedatangan tetangga baru di komplek rumah. Ia berprofesi sebagai pedagang kreditan, kredit apa saja dilayani. Yang kudengar dari ibu-ibu kompleks sih aneka furniture, alat-alat rumah tangga, perhiasan, motor juga uang. Aku bayangkan pasti modalnya cukup besar, ia melayani kredit harian, pekan, juga bulanan. Bawaannya yang ramah dan supel membuatnya cepat punya pelanggan, tapi aku sama sekali tak tertarik seperti kebanyakan ibu-ibu di kompleks. Selain aku tak berminat, suami juga melarangku untuk kredit seperti itu.
Kalau ada rezeki lebih baik beli kontan, nggak kepikiran dan nggak nanggung hutang, umur siapa yang tahu bu?!
Kupikir benar juga kata suami, dan lagi para ibu-ibu di komplek mau kredit karena gengsi, bersaing, serta barang yang dikredit pun tak terlalu penting dan dibutuhkan. Satu ibu beli sprei, yang lain ikut beli. Yang satu pesan furniture, yang lain ikut pesan. Begitu yang kulihat ibu-ibu di komplekku. Soal bayar urusan belakang. Bahkan Bu Har tetangga sebelah hutang kreditnya bertumpuk-tumpuk, padahal ia tak punya kerja tetap. Pagi, siang, sore tukang kredit tak henti menagih, tapi ia cuek bebek dan sering menghindar.
Namun lama-kelamaan aku tergoda juga. Sekali-kali tak apalah pikirku. Aku melakukannya sembunyi-sembunyi tanpa setahu suami. Semula aku yang cuma kredit barang, berangsur kredit uang. Meski awalnya takut-takut karena bunga yang lumayan tinggi, tapi lama-lama aku kian berani.
Uang belanja mulai “kocar-kacir”, karena kupakai untuk membayar cicilan. Tapi aku masih bisa menyembunyikannya dari suami. Tukang tagih kularang ke rumah. Bila hendak membayar, aku yang ke rumah Bu Sin tetanggaku yang menghutangiku. Awalnya cicilan lancar-lancar saja. Namun lambat laun, aku kewalahan membayarnya. Dan mulailah aku gali lubang tutup lubang.
Kebingungan mulai melandaku. Hutangku yang bertebaran di mana-mana, mulai sulit kubayar. Untunglah hampir selama enam bulan “hobi buruk itu” tak ketahuan suami, kalau tahu, pasti aku sudah dimarahi habis-habisan. Suami memang tipe orang tak senang berhutang, tak suka macam-macam dan apa adanya.
Modal dagang makanan kecil-kecilan yang kujalani selama ini turut menipis habis. Untuk makan saja aku mulai berhutang, tak berani minta suami. Karena uang belanja yang seharusnya untuk makan kuhabiskan untuk membayar cicilan. Hari-hariku mulai tak tenang. Tidur pun aku gelisah, mimpi buruk mulai mewarnai malam-malam tidurku.
Puncaknya, saat aku tak sengaja mengobrol dengan beberapa ibu-ibu ketika momong anak. Ada tetanggaku yang bertanya soal utang-piutang (pada rentenir/hutang berbunga-red) pada seorang ummahat yang kebetulan juga ada di sana.
Masa’ sih Um?! 33 kali dosa zina dan dibangkitkan gila?” tetanggaku heran dan tertegun-tegun.
Kulihat ummahat itu tersenyum dan mengangguk. Sementara hatiku menjadi kian gelisah dan tak karuan.
Demi Allah, sejak hari itu mata ini tak lagi bisa dipejamkan hingga subuh menjelang. Begitu berulang setiap hari. Dan ternyata hal itu sangat berpengaruh pada kesehatanku. Awalnya hanya sekedar pusing karena kurang tidur. Lambat laun, aku mulai menderita darah tinggi, karena pikiran yang tegang. Terakhir aku didiagnosa mengalami komplikasi. Aku sempat shock dan terkejut mendengarnya. Itu pun baru ketahuan setelah aku mendadak pingsan setelah merasakan sakit luar biasa di perut dan dada.
Aku harus opname sepekan karenanya. Selebihnya aku melakukan obat jalan. Selama sakit, aku dihantui perasaan takut mati. Lebih-lebih hampir tiga bulan sepulang dari rumah sakit, kesehatanku tak juga membaik. Bayangan mati dan kata-kata ummahat tetanggaku itu selalu berputar di otakku. Entah keberanian dari mana, aku berniat mengaku pada suami, meski awalnya aku takut. Aku harap hal itu akan meringankanku.
Bismillah, saat usai shalat Isya aku menemuinya. Kuceritakan apa yang kuperbuat. Aku meminta maaf padanya dan berjanji tak mengulangi lagi.
Masya Allah, Bu, Bapak kan sudah bilang, jangan menurut nafsu yang tidak baik. Tahu sendiri kan jadinya malah begini, berat dan jadi pikiran serta bikin penyakit.
Aku menangis di pelukan suami. Sedikitpun ia tak memarahiku. Suami pula yang akhirnya menyelesaikan hutang-hutangku pada Bu Sin. Hutangku yang “cuma” lima ratus ribu membengkak menjadi 200%. Tak cuma itu, “uang haram” itu menjadi penyakit bagi jiwa ragaku. Membuat hidup dan tidur tak tenang karena kepikiran hutang. Inilah pengalaman hutang rentenir yang pertama dalam hidupku, dan semoga pula menjadi yang terakhir. Aku benar-benar kapok dan berjanji tak akan pernah mengulanginya lagi. Dan satu lagi pelajaran kudapat, lebih enak hidup apa adanya dan juga lebih mendengarkan nasihat baik suami. (ummu izdihar).
Kisah Ibu N di pintu sebelah, kota D
(Majalah Sakinah Vol. 9, No. 7 Syawal-Dzulqo’dah 1431)

Komentar

ngepop

Ciri-ciri Mati Syahid

Astagfirullah, Anak Band Ini Minta Gitar Saat Sakratul Maut

"Tanda-Tanda Hati yang Mendapat Hidayah"