Akhlak Menerima Tamu
1. Pengertian Akhlak Menerima Tamu
Menurut KBBI, menerima tamu diartikan kedatangan orang-orang bertamu, mela-wat atau berkunjung.
Secara istilah, menerima tamu
dimaknai menyambut tamu dengan berbagai cara penyambutan yang lazim dilakukan menurut
adat ataupun agama dengan maksud untuk menyenangkan atau memuliakan tamu, atas
dasar keyakinan untuk menda-patkan rahmat dan rido dari Alloh.
2.
Bentuk Akhlak Menerima Tamu
Islam sebagai agama yang sangat serius dalam memberikan perhatian orang yang sedang bertamu. Sesungguhnya orang yang bertamu telah dijamin hak-haknya dalam Ialam. Karena itu menerima tamu merupakan perintah yang mendatangkan kemuliaan di dunia dan akhirat, dan Rosululloh SAW bersabda:
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik dengan tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hen-daklah ia memuliakan tamunya dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik dan diam (H.R. Muslim)
3. Nilai Positif Akhlak Menerima Tamu
Setiap orang Islam telah diikat oleh suatu Tata aturan supaya hidup bertetengga dan bersahabat dengan orang lain, sekalipun berbeda agama ataupun suku. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang perjanjian yang mengikat di antara sesame manusia.
Memuliakan tamu juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan kemas-lahatan dari Allah ataupun makhluk Nya karena sesungguhnya orangyang berbuat baik akan mendapatkan kemaslahatan dunia ataupun akhirat. Memuliakan tamu dengan peny-ambutan yang menyenangkan dapat membina diri dan menunjukan kepribadian utama.
4.
Membiasakan Akhlak Menerima Tamu
Menerima tamu merupakan bagian dari aspek social dalam ajaran Islam yang harus terus dijaga. Menerima tamu dengan penyambutan yang baik merupakan cermin diri dan menunjukan kualitas kepribadian seorang muslim. Seorang muslim harus membiasakan diri untuk menyambut setiap tamu yang datang dengan penyambutan yang penuh suka cita.
Agar dapat menyambut tamu dengan suka cita maka tuan rumah harus mengha- dirkan tamu pikiran yang positif terhadap tamu, jangan sampai kehadiran tamu disertai dengan munculnya pikiran negative dari tuan rumah. Sebagai tuan rumah harus sabar dalam menyambut tamu yang datang apapun keadaanya, pada kenyataanya sering meng-ganggu aktivitas yang sedang kita serius. Jangan sampai seorang tuan rumah menunjukan sikap yang kasar ataupun mengusir tamunya.
Seyogyinya seorang muslim harus menunjukan sikap yang baik terhadap tamunya mulai dari keramahan diri dalam menyambut tamu, menyediakan sarana dan pasarana penyambutan yang memadai, serta memberikan jamuan makan dan minum yang memenu hi selera tamu. Syukur sekali menyediakan hidangan yang lezat yang menjadi kesukaan tamu yang datang. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara baik, maka akan menjadi tolak ukur kemuliaan tuan rumah.
5. Etika Menerima Tamu
Dalam ajaran Islam istilah ”Tamu
adalah raja” ini merupkan inti dari ajaran islam itu sendiri dan barang siapa
yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah
menyambungkan tali silaturrahim.
Tuan rumah (Shohibul bait) dalam
menerima tamu hendaknya mempunyai etika-etika (adab) dalam menerima tamu sesuai
dengan ajaran islam. Yaitu seperti :
·
Hendaknya Menunjukkan Wajah Kegembiraan
Tuan rumah hendaknya menunjukkan wajah kegembiraan. Jika ketika itu tuan rumah sedang mempunyai masalah yang merisaukan hendaknya kerisauan itu tidak ditampakkan kepada tamu. Jika kekesalan itu tertuju kepada orang yang datang bertamu, hendaknya usahakan tetap bisa bersikap ramah, karena berlaku tidak ramah kepada tamu, misalnya menampilkan wajah cemberut atau secara sengaja tidak berbicara atau berbicara sangat singkat, berlawanan dengan muru`ah tuan rumah yang justru harus dijaga.
·
Menjawab Salam
Menjawab salam saudara kita sesama muslim berarti merealisasikan sunnah Rosulullah saw dan menunaikan hak sesama muslim. Dan menjawab salam itu sendiri hukumnya adalah wajib.
Dan jika yang bertamu itu ahli kitab (orang Non-Muslim) yang mengucapkan salam, maka jawabannya cukup hanya dengan ucapan "alaik" atau "alaikum" saja.
·
Berjabat Tangan
Ketika bertemu dengan tamu saudara sesama muslim, disunnahkan berjabat tangan sebagaimana amalan para sahabat Nabi.
§ Keutamaan
Berjabat Tangan
Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling
bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka
berdua sebelum mereka berpisah.“[1]
Hadits yang mulia ini menunjukkan
keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang
dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama[2], bahkan ini merupakan sunnah
yang muakkad (sangat ditekankan)[3].
Faidah-Faidah Penting yang
Terkandung Dalam Hadits:
- Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak[4]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan” secara bahasa[5]. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[6].
- Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh syaikh al-Albani[7]. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu[8].
- Berjabat tangan adalah ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah[9]. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain[10].
- Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu dan bukan karena shalat[11].
- Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu
dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu
‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
(a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
(b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
(c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas[12].
·
Bersikap simpatik
Selain menyambut tamu dengan wajah ceria di awal kehadirannya, dan mengajaknya bicara dengan tutur kata yang baik dan sopan. Imam Al Auza`i mengatakan bahwa:
”Memuliakan tamu itu adalah
(sekurang-kurangnya) menunjukkan wajah ceria dan baik tutur kata”.
Tradisi masyarakat beradab sejak
zaman Nabi saw dalam menjamu tamu selalu ada unsur obrolan, luwes, simpatik dan
ramah tamah. Dan sekiranya kita sebagai tuan rumah mempersilahkan tamunya
seperti layaknya rumah sendiri, sehingga tidak layak bagi tuan rumah untuk
menyuruh tamu melayani dirinya.
·
Memberi Hidangan
Ketika tamu itu duduk, hendaklah menyuguhkan minuman agar tamu merasa nyaman karena penghormatan kita. Dan jika telah selesai janganlah terburu-buru mengangkat hidangan dari meja tamu sebelum tamu benar-benar menyelesaikan makanannya dan membersihkan tangannya.
Jika kita termasuk dalam keadaan golongan orang yang kurang mampu, hendaknya hidangkan kepada tamu kita seadanya saja meskipun itu hanya air putih. Jika tamu berpamitan hendaknya tuan rumah mengantar sampai ke luar rumah.
·
Jangan Membebani Tamu
Janganlah seorang tuan rumah membebani tamu untuk membantu, kerana hal ini bertentangan dengan kewibawaan dan jangan menampakkan kejemuan terhadap tamu, tetapi menampakkan kegembiraan dengan kehadiran mereka, bermuka manis dan berbicara ramah dan ceria.
·
Boleh Menanyakan Siapa Namanya
Jika yang bertamu adalah orang yang belum kita kenal sama sekali, dan dia meminta izin untuk masuk, maka kita boleh menanyakan namanya sambil berjabat tangan seraya mengenalkan diri. Karena berjabat tangan dengan sesama muslim hikmahnya banyak yaitu diantarnya dapat melapangkan dada, mempererat ukhuwah dan dapat menghapus dosa selama belum berpisah.
·
Boleh Menolak Tamu
Sebagai tuan rumah kita diberi kuasa oleh Allah SWT untuk menentukan sikap terhadap tamu. Apakah kita akan menolak tamu tersebut atau menerimanya, jika kita menolak karena suatu hal maka hendaknya bicara jujur dan menyampaikan udzurnya dengan akhlak yang baik.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Beliau
berkata:
"… barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya memuliakan tamunya, dan barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya bicara yang benar atau
diam.”
·
Boleh Saling Berpelukan
Jika tamu kita adalah orang yang bertempat tinggal jauh sekali, bisa dikatakan bahwa tamu kita tersebut hanya bersilaturrahim tiap Idul Fitri saja, maka ketika tamu tersebut berpamitan kita boleh saling berpelukan.
Berpelukan dengan tamu yang datang dari bepergian, pada
asalnya dibolehkan, karena banyak sahabat yang mengamalkannya. Imam Ahmad, Abu
Ja’far At-Thohawi berkata:
Ulama berselisih pendapat dalam hukum berpelukan. Ada yang
membolehkan dan ada yang melarang. Mereka yang membolehkan berdalil dengan
riwayat
dari Sya’bi dengan sanadnya:
dari Sya’bi dengan sanadnya:
“Sesungguhnya sahabat Nabi apabila mereka bertemu, mereka
saling berjabat tangan dan bila datang dari bepergian mereka berpeluk-pelukan.
Dari Abu Ja’far dia berkata: Ketika aku datang menghadap Rosululloh dari Najasi beliau menjumpaiku lalu memelukku.
Dari Ummu Darda’ dia berkata : Ketika Salman tiba, dia
bertanya “Dimana saudaraku?” Lalu aku menjawab: “Dia di masjid”, lalu dia
menuju ke masjid dan setelah melihatnya, dia memeluknya,
sedangkan sahabat yang lain saling berpeluk-pelukan pula.
sedangkan sahabat yang lain saling berpeluk-pelukan pula.
Muhammad Al-Mubarokfuri berkata:
“Adapun penggabungan hadits antara
Riwayat Anas yang menerangkan tidak disyari’atkannya berpelukan, dengan riwayat
Aisyah yang membolehkannya, maka riwayat Aisyah mertunjukkan kekhususan ketika
datang dari bepergian. Wallohu a’lam.”
Kami tambahkan pula bahwa bab berpelukpelukan ini dikutip
pula oleh Imam Bukhori di dalam kitab shohihnya, Imam Tirmidzi di dalam kitab
Jami’nya dan Abu Dawud di dalam kitab Sunannya yaitu Kitab Al-Isti’dzan wal
Adab, silakan menelaahnya.
Komentar
Posting Komentar