Inilah Menejemen Rasulullah Menyambut Ramadhan
Noushad Akambadam (flickr)
Oleh: Nofriyanto al-Minangkbawy
Sebelum membahas tentang
bagaimana manajemen Ramadhan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam,
perlu kiranya sedikit menyinggung tentang definisi manajemen terlebih
dahulu.
Goerge R. Terry, mendefinisikan manajemen
sebagai, “…sebuah proses yang khas dan terdiri dari tindakan-tindakan
seperti perencanaan, pengorganisasian, pengaktifan dan pengawasan yang
dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbersumber
lainnya”. (Basu Swasta DH, Asas-asas Manajemen Modern).
Manajemen bisa dikatakan sebagai kumpulan
usaha yang dilakukan demi tercapainya tujuan. Berangkat dari pengertian
di atas, manajemen Ramadhan adalah segala usaha menjadikan Ramadhan
sebagai bulan penuh rahmat, ampunan dan keselamatan.
Demi meraih tujuan tersebut, maka momentum yang penuh berkah ini perlu dijadikan sebagai momentum Training Manajemen Syahwat, dan sekaligus menjadi Training Manajemen Ibadah. Inilah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Oleh karena itu, demi tercapainya tujuan tersebut mengetahui manajemen Ramadhan Rasulullah menjadi suatu keharusan.
Demi memperoleh gambaran utuh dan
mendetail dari manajamen Ramadhan Rasulullah, setidaknya ada empat
situasi yang perlu kita perhatikan.
Pertama, sebelum memasuki Ramadhan
Para Salafus shalih selalu merindukan
kedatangan Ramadhan. Untaian doa selalu terucap dari lisan-lisan mereka
agar diberi kesempatan menemui Ramadhan sejak enam bulan sebelum
Ramadhan tiba.
Contohnya, Imam Malik setelah pengajiannya
sering menyarankan para murid dan sahabatnya untuk mempelajari
bagaimana para sahabat memenej kehidupan ini, termasuk hal-hal yang
terkait dengan Ramadhan mereka. Meskipun tidak mendapatkan kesempatan
untuk hidup bersama para Sahabat, namun nya mampu meneladani mereka
melalui sejarah hidup mereka.
Ma’la Bin Fadhal berkata: “Dulu
Sahabat Rasulullah berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk
Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah
itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa
agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa
mereka ialah : Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan
selamat. Yaa Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal
ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.” (HR. at Thabrani: 2/1226).
Melihat kepada sikap dan doa yang mereka
lakukan, terlihat jelas bagi kita bahwa para sahabat dan generasi
setelahnya sangat merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka sangat berharap
dapat berjumpa dengan Ramadhan demi mendapatkan semua janji dan tawaran
Allah dan Rasul-Nya dengan berbagai keistimewaan yang tidak terdapat di
bulan-bulan lain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa para
sahabat dan generasi setelahnya betul-betul memahami dan yakin akan
keistimewaan dan janji Allah dan Rasul-Nya yang amat luar biasa seperti rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan) dan keselamatan dari api neraka. Inilah yang diungkapkan Imam Nawawi, “Celakalah kaum Ramadhaniyyin. Mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan.”
Sesungguhnya Rasulullah, sahabat dan
generasi setelahnya mengenal Allah sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan
dan di bulan Ramadhan pengenalan mereka kepada Allah lebih bertingkat.
Kedua, saat memasuki Ramadhan
Ketika terbitnya hilal di ufuk pertanda
Ramadhan tiba, Rasul dan para sahabat menyambutnya dengan suka cita
sembari membacakan doa seperti yang diceritakan Ibnu Umar dalam hadits
berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : اللَّهُ
أَكْبَرُ ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ
وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَم وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا
وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ
“Dari Ibnu Umar dia berkata : Bila
Rasul melihat hilal dia berkata : Allah Maha Besar. Ya Allah, jadikanlah
hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman
dan taufik kepada yang dicintai Robb kami dan diridhai-Nya. Robb kami
dan Robbmu (hilal) adalah Allah.” (HR. Addaromi).
Itulah gambaran nyata dari Rasul dan para
sahabat ketika meyambut kedatangan bulan penuh berkah ini. Bukan dengan
hiruk pikuk yang penuh kebisingan dan tabdzir dengan pawai disertai
pesta kembang api atau petasan di jalanan sambil keliling kota atau desa
memukul beduk dan sebagainya.
Namun, Rasulullah dan para sahabat
menyambutnya dengan keyakinan, dan perasaan rindu yang mendalam akan
kebesaran Ramadhan. Dengan harapan, jika amal ibadah Ramadhan dijalankan
dengan ikhlas dan khusyu’, mereka akan meraih rahmat, ampunan dan
terbebas dari api neraka. Ketiga nikmat itu tidak akan ternilai harganya
bagi mereka dibandingkan dengan dunia dan seisinya.
Ketiga, setelah memasuki Ramadhan
Setelah memasuki awal Ramadhan hingga
akhir, Rasulullah dan para sahabat meningkatkan ketaqwaan untuk menahan
diri dari berbagai syahwat dan perbuatan yang dapat merusak kesempurnaan
puasa. Mereka menutup setiap celah syahwat dengan “mengetuk” setiap
pintu kebajikan. Seperti syahwat anggota tubuh atau menyakiti orang lain
dan semacamnya. Semuanya dilakukan sejak terbit fajar sampai tenggelam
matahari.
Rasulullah dan para sahabat menghidupkan
siang dan malam dengan berbagai amal ibadah. Seperti bersedekah, shalat
taraweh, berzikir, membaca dan tadabbur Al-Qur’an dan berbagai ibadah
lainnya. (Bahkan, ibunda Aisyah pernah berkata bahwa Rasulullah adalah
orang yang paling dermawan dan lebih dermawan lagi ketika di bulan
Ramadhan.(Muhammad ad-tirmidzi: 164). Artinya, selama Ramadhan
Rasulullah dan para sahabat benar-benar menfokuskan diri bertaqorrub
kepada Allah melalu training manajemen syahwat dan sekaligus training
manajemen ibadah. Dua hal inilah yang mesti dimiliki oleh setiap hamba
yang ingin mendapat ridha Allah di dunia dan bertemu dengan-Nya di
syurga.
Keempat, ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan
Ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan,
akan kita temukan sesuatu yang sangat berbeda pada diri Rasulullah
dengan mayoritas Muslim hari ini. Rasulullah mengencangkan tali ikat
pinggangnya pertanda bertambahnya kesungguhan nya untuk beribadah dan
menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya untuk shalat
dan berdzikir agar tidak kehilangan keberkahan yang melimpah ruah pada
malam-malam tersebut. danNya menghabiskan waktu tersebut terkhusus untuk
beri’tikaf di masijid. (Muttafaq ‘alaihi)
Adapun masyarakat Muslim dewasa ini
mayoritas menghabiskan waktu mereka di pasar atau pusat perbelanjaan.
Artinya, Rasulullah dan para sahabat lebih giat dalam beribadah di
sepertiga akhir Ramadhan, sedangkan mayoritas umat Muslim menghabiskan
waktu dan kekayaannya demi kepentingan dunia semata.
Demikianlah gambaran dari manajemen Ramadhan Rasulullah dan para sahabat untuk meraih tujuan puasa Ramadhan yang hakiki.
Dengan semakin dekatnya Ramadhan, semoga kita bisa mempersiapkan diri. Semoga dengan gambaran tersebut kita dapat memenej Ramadhan sebagaimana mereka memenejnya demi meraih tujuan puasa Ramadhan yang hakiki. (http://www.hidayatullah.com)
Komentar
Posting Komentar