Masa Depan Anak-anak Kita
Syahdan.
Di
satu akhir pekan nan nyaman. Aku menikmati perjalanan dengan kereta komuter
Bekasi-Kota. Tak seperti hari-hari kerja, pagi itu hampir-hampir tidak ada penumpang
yang berdiri. Tampak pula beberapa keluarga muda yang sepertinya sengaja
mengajak anak-anaknya sekadar melewatkan akhir pekan dalam kebersamaan.
Dalam kenyamanan kereta komuter pagi itu, mataku
tertuju pada dua bocah (kakak-beradik) yang umurnya belum genap lima tahun. Sang
kakak tampak begitu aktif bertanya kepada ayahnya saban kali melihat sesuatu
yang terasa baru atau asing. Sedangkan si adik sedikit rewel. Ibunya nggak mau repot, begitu si adik menangis
langsung disodorkanlah sebuah ponsel cerdas dengan layar permainan (game). Tampak permainan balap mobil F-1
dan kadang permainan perang-perangan yang berbau kekerasan.
Begitu mudahnya ibu muda itu memberikan jalan keluar
pada si adik yang rewel. Dan pemandangan seperti ini tidak hanya ada di
perjalanan santai kereta komuter akhir pekan itu. Pemandangan ini sudah sangat
menggejala. Telah lahir generasi ponsel pintar pada anak-anak kita. Anak-anak
kita dibesarkan oleh “didikan” ponsel pintar dan game online di warnet yang menyeruak pada hampir setiap sudut
kampung.
Dan, banyak orang tua demikian bangga merasa mampu
memberikan anak-anaknya dengan permainan yang jauh dari aktivitas fisik. Hal ini pun kemudian ditangkap oleh industri
ponsel dengan menawarkan berbagai produk ponsel cerdas yang sangat lengkap
fitur-fiturnya.
Sampai-sampai ada seorang kenalan (notaris) membekali
anaknya yang melanjutkan sekolah ke pesantren dengan sebuah gadget seharga Rp4
juta. Bersyukur, pihak pondok pesantren langsung memulangkan bekal itu.
Kita acapkali lupa bahwa ponsel cerdas dan perangkat
yang mengkutinya (jejaring internet) itu bagai pisau –tergantung siapa yang
menggunakannya. Saat ponsel cerdas itu berada di tangan orang yang tepat, tentu
sarat manfaat. Tapi, bilamana perangkat itu berada di tangan anak-anak yang
belum genap berakal maka akan lahir generasi yang menyimpang –akhlak, perilaku
dan tabiat. Sudah telalu banyak cerita dekadensi moral melanda anak-anak kita:
melewatkan kelulusan dengan pesta bikini dan pesta seks, juga 3,5 juta anak
muda harus rehabilitasi narkoba.
Saatnya kita bertindak, membekali anak-anak kita dengan
landasan spiritual dan ruhaniah yang tepat dan kuat. Jangan cuma sebatas bekal
intelektual. Menghasilkan anak intelek jelas perlu, tapi lebih perlu lagi
mendidik anak-anak kita yang kuat secara akhlak dan mengenal Tuhan.
Mari kita renungkan nasehat Luqman kepada anaknya: “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah dari perbuatan munkar, dan bersabar terhadap apa yang menimpa kamu...
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh...” (QS Luqman [31]: 17-18)
Sekali lagi, begitu sederhana nasehat Luqman. Tidak perlu
mahal-mahal dengan memberikan gadget dan ponsel cerdas, cukup dengan tekad
untuk membentuk generasi mendatang yang jauh dari dekadensi moral melalui
penanaman pondasi spiritual dan akhlak (budi pekerti) yang tepat. Pada momen
Hari Anak Nasional (23 Juli) ini mari kita memulai langkah mendidik anak-anak
kita dengan model nasehat Luqman. (BNS)
Komentar
Posting Komentar