Puasa dan Etos Modernisasi
Oleh:
Komaruddin Hidayat,
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
SATU di antara elemen pokok dalam
modernisasi adalah berlangsungnya proses pembangunan yang direncanakan secara
rasional untuk menyejahterakan rakyat dan mengajak mereka melihat jauh ke
depan, jangan terjebak pada godaan kenikmatan sesaat.
Logika
modernisasi ini memiliki titik singgung dan garis impit dengan ajaran puasa.
Sebagaimana puasa, sebuah modernisasi akan mengalami kegagalan jika para
pelakunya tidak mampu menahan diri ketika dihadapkan pada godaan yang
menawarkan kenikmatan sesaat sehingga mengorbankan kenikmatan lebih besar di
hari depan. Mereka terjebak dalam kenikmatan sesaat.
Sebagaimana
juga dalam ibadah puasa yang dikaitkan dengan zakat dan kepedulian sosial,
modernisasi bangsa akan dinilai tidak berhasil kalau dalam praktiknya tidak
mampu mewujudkan kepedulian dan kesejahteraan sosial secara nyata. Dalam
melakukan pembangunan, jangan sampai slogan dan seremoni formal mengaburkan
fungsi, proses, dan sasarannya yang lebih sejati.
Ini juga
bisa terjadi pada ibadah Ramadhan jika berhenti pada
ritual formal, tetapi hikmah dan tujuannya yang lebih jauh tidak tercapai.
Kesanggupan menahan diri untuk tidak terjatuh pada dominasi nafsu hedonis, berpuasa
sesungguhnya menumbuhkan dan memperkuat kualitas insani kita, dalam rangka
meraih sukses hidup yang lebih tinggi kualitasnya.
Secara
psikologis, bulan Ramadhan adalah bulan
interupsi atas rutinitas hidup, yang cenderung membuat aktivitas kita bersifat
mekanistik. Interupsi itu antara lain berupa penjungkirbalikan jadwal
kehidupan, terutama berkenaan pemenuhan nafsu jasmani, yang respons waktunya
amat pendek dan kenikmatannya bersifat sesaat.
Datangnya
bulan puasa, rutinitas itu disetop sementara dan diinterupsi untuk dievaluasi.
Kita diajak untuk merenung, menggali makna dan arah hidup yang lebih hakiki
sehingga harkat dan eksistensi kita tidak terdegradasi (runtuh).
Melalui ibadah
puasa, kita diajak melakukan transendensi, mengapresiasi dan menginternalisasi
nilai-nilai moral ilahi yang lebih mulia, dalam rangka memelihara keluhuran
martabat manusia, yang oleh Alquran diistilahkan takwa. Wahai orang-orang yang
beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan
atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu menjadi manusia yang bertakwa, demikian
firman Allah SWT berkenaan dengan perintah puasa (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Karena
perintah puasa sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sikap penyiksaan diri,
Islam melarang seseorang melakukan puasa padahal dia dalam keadaan sakit atau
tengah dalam tugas melakukan kerja berat sehingga perlu makan dan minum. Dari
sini terlihat, di balik aturan-aturan formal yang wajib dipenuhi, satu di
antara hikmah dan sasaran yang diharapkan dari ibadah puasa adalah terbinanya
pribadi dan masyarakat yang memiliki komitmen iman dan moral sehingga tidak
jatuh pada gaya hidup hedonistik-materialistik.
Di samping
sebagai ritual keagamaan, ibadah puasa mestinya memperkukuh komitmen moral kita
bahwa esok masih ada hari untuk anak-cucu kita, yang juga memerlukan hidup
ceria, ingin memperoleh kualitas pendidikan lebih baik, dan lingkungan alam
yang subur. Sungguh ironis kalau setiap tahun kita ramai-ramai berpuasa tapi
perilaku sosial kita hedonistik dan koruptif. (*)
Komentar
Posting Komentar