10 Adab Dalam Buang Hajat
Buang hajat merupakan rutinitas amaliyah yang sering dilakukan semua orang. Maka alangkah baiknya bila kita mengetahui adab-adab buang hajat sesuai dengan tuntunan syari’at Islam yang mulia ini.
Adanya
tuntunan dalam masalah buang hajat ini menunjukkan bahwa Islam adalah
agama yang sangat sempurna. Tidak ada yang tersisa dari problematika
umat ini, melainkan telah dijelaskan secara gamblang oleh Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Tak heran, jika kaum musyrikin pernah
terperangah seraya berkata kepada Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu:
“Sungguh
nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu sampai-sampai perkara adab
buang hajat sekalipun.” Salman menjawab: “Ya, benar…” (HR. Muslim No. 262)
1. Berdo’a Sebelum Masuk WC
WC
dan yang semisalnya merupakan salah satu tempat yang dihuni oleh setan.
Maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah
subhanahu wata’ala dari kejelekan makhluk tersebut. Oleh karena itu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a ketika akan
masuk WC:
(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ
“(Dengan
menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari kejelekan setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR.
Al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375. Adapun tambahan basmalah diawal
hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani)
Doa ini dapat pula dibaca dengan lafazh:
(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبْثِ وَ الْخَبَائِثِ
“(Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari segala bentuk kejahatan dan para pelakunya.” (Lihat Fathul Bari dan Syarhu Shahih Muslim pada penjelasan hadits diatas)
2. Mendahulukan Kaki Kiri Ketika Masuk WC Dan Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Keluar
Dalam
masalah ini tidak terdapat hadits shahih yang secara khusus menyebutkan
disukainya mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk WC. Hanya saja
terdapat hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyukai mendahulukan yang kanan pada setiap perkara yang baik.” (HR. Muslim)
Oleh
karena itu, beberapa ulama seperti Al-Imam An-Nawawi dalam kitab
beliau, Syarhu Shahih Muslim, dan juga Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Id
menyebutkan disukainya seseorang yang masuk WC dengan mendahulukan kaki
kiri dan ketika keluar dengan mendahulukan kaki kanan.
3. Tidak Membawa Sesuatu Yang Terdapat Padanya Nama Allah subhanahu wata’ala Atau Ayat Al-Qur`an kedalam WC
Sesuatu
apapun yang terdapat padanya nama Allah subhanahu wata’ala, atau
terdapat padanya ayat Al-Qur’an, atau terdapat padanya nama yang
disandarkan kepada salah satu dari nama Allah subhanahu wata’ala seperti
Abdullah, Abdurrahman dan yang lainnya, maka tidak sepantasnya
dimasukkan ke tempat buang hajat (WC). Allah subhanahu wata’ala
berfirman:
“Barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Adapun
hadits yang sering dipakai dalam masalah ini tentang peletakan cincin
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika masuk WC merupakan hadits
yang dilemahkan para ulama. (Taudhihul Ahkam, 1/324)
4. Berhati-hati Dari Percikan Najis
Tidak
berhati-hati dari percikan kencing merupakan salah satu penyebab
diadzabnya seseorang di alam kubur. Tetapi perkara ini sering
disepelekan oleh kebanyakan orang. Suatu ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam melewati dua kuburan, seraya beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Sungguh
dua penghuni kubur ini sedang diadzab. Tidaklah keduanya diadzab
melainkan karena menganggap sepele perkara besar. Adapun salah satunya,
ia diadzab karena tidak menjaga dirinya dari kencing. Sedangkan yang
lainnya, ia diadzab karena suka mengadu domba….” (HR. Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan:
“Bersucilah kalian dari kencing. Sungguh kebanyakan (orang) diadzab di alam kubur disebabkan karena kencing.” (HR. Ad-Daraquthni)
5. Tidak Menampakkan Aurat
Menutup
aurat merupakan perkara yang wajib dalam Islam. Oleh karena itu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang dalam keadaan
apapun, termasuk ketika buang hajat, untuk menampakkan auratnya di
hadapan orang lain. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila
dua orang buang hajat, maka hendaklah keduanya saling menutup auratnya
dari yang lain dan janganlah keduanya saling berbincang-bincang.
Sesungguhnya Allah sangat murka dengan perbuatan tersebut.” (HR. Ahmad dishahihkan Ibnus Sakan, Ibnul Qathan, dan Al-Albani, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu)
Oleh
karena itu, kebiasaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah
menjauh dari pandangan para sahabatnya ketika hendak buang hajat.
Abdurrahman bin Abi Qurad radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku
pernah keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ke tempat
buang hajat. Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh
dari manusia.” (HR. An Nasa’i No. 16. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 1/495)
6. Tidak Beristinja’ dengan Tangan Kanan
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam melarang beristinja’ dengan tangan kanan
sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam:
لاَيَمَسَّنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَهُوَيَبُوْلُ وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِيْنِهِ
“Janganlah
seseorang diantara kalian memegang kemaluan dengan tangan kanannya
ketika sedang kencing dan jangan pula cebok dengan tangan kanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Qotadah radhiallahu ‘anhu)
Hadits
inipun mengandung larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika
sedang kencing. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan
adab (etika yang baik) dan kebersihan, termasuk ketika buang hajat
sekalipun.
7. Boleh Bersuci dengan Batu (Istijmar)
Diantara
bentuk kemudahan dari Allah subhanahu wata’ala ialah dibolehkan bagi
seseorang untuk bersuci dengan batu (istijmar). Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu berkata:
“Suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, lalu beliau meminta kepadaku tiga batu untuk bersuci.” (HR. Al-Bukhari No. 156)
Namun
batu yang dipakai harus berjumlah ganjil dengan jumlah minimal tiga
batu sebagaimana dinyatakan Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang bersuci (istijmar) kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
Juga hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika kalian bersuci dengan batu (istijmar), maka hendaklah dengan bilangan ganjil.” (HR. Muslim)
Para
ulama menyebutkan kriteria batu yang dipakai adalah batu yang suci lagi
kering. Tidak boleh jika batu tersebut dalam keadaan basah. Dibolehkan
juga menggunakan benda-benda lain selagi bisa menyerap benda najis dari
tempat keluarnya, yaitu qubul dan dubur, dengan syarat berjumlah ganjil
dan minimal 3 (tiga) buah.
8. Larangan Beristinja’ dengan Tulang dan Kotoran Binatang
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam melarang beristinja’ dengan tulang atau
kotoran binatang, disamping keduanya merupakan benda yang tidak dapat
menyucikan. Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melarang beristinja’ dengan tulang dan kotoran binatang.” (HR. Muslim)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hikmah pelarangan beristinja’
dengan tulang sebagaimana disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tulang adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin.” (HR. Al-Bukhari)
9. Tidak Menghadap Atau Membelakangi Kiblat Ketika Buang Hajat
Para
ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Sebagian ulama
berpendapat dilarangnya buang hajat dengan menghadap atau membelakangi
kiblat secara mutlak, baik di tempat terbuka maupun di tempat tertutup.
Inilah pendapat Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani dan
yang lainnya. Berdalil dengan hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari
radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila
seseorang dari kalian buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat atau
membelakanginya. Akan tetapi hendaknya ia menyamping dari arah kiblat.” (HR. Al-Bukhari No. 394 dan Muslim No. 264)
Sebagian
ulama lain berpendapat bahwa larangan buang hajat dengan menghadap
kiblat adalah apabila di tempat terbuka. Namun jika di tempat tertutup,
maka dibolehkan menghadap kiblat. Dalil yang menunjukkan bolehnya
perkara tersebut adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, ia
berkata:
“Aku
pernah menaiki rumah saudariku Hafshah (salah satu istri Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam) untuk suatu kepentingan. Maka aku melihat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang buang hajat dengan
menghadap ke arah negeri Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. Al-Bukhari No. 148 dan Muslim No. 266)
Demikian pula hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
“Beliau
shalallahu ‘alaihi wasallam melarang kami membelakangi atau menghadap
kiblat ketika buang hajat. Akan tetapi aku melihat beliau kencing dengan
menghadap kiblat setahun sebelum beliau wafat.” (HR. Ahmad, 3/365, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 1/493)
Pendapat
inilah yang nampak bagi penulis lebih kuat. Dan ini pendapat yang
dipilih Al-Imam Malik, Ahmad, Asy-Syafi’i, dan mayoritas para ulama.
Namun
dalam rangka berhati-hati, sebaiknya tidak menghadap kiblat ketika
buang hajat walaupun di tempat tertutup. Hal ini disebabkan karena
perbedaan pendapat yang sangat kuat diantara para ulama dalam masalah
ini.
10. Berdo’a Setelah Keluar WC
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a yang dibaca ketika keluar
dari tempat buang hajat. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika keluar dari tempat buang hajat membaca do’a:
غُفْرَانَكَ
“(Aku memohon pengampunanmu).” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil No. 52)
Terdapat
riwayat-riwayat lain yang menyebutkan beberapa bentuk do’a yang dibaca
setelah buang hajat. Namun seluruh hadits-hadits tersebut didha’ifkan
para ulama pakar hadits. Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Hadits yang paling shahih tentang masalah ini adalah hadits ‘Aisyah (yang telah disebutkan diatas).” (Taudhihul Ahkam, 1/352)
Inilah
beberapa perkara yang perlu dicermati oleh setiap muslim. Sungguh tidak
layak bagi seorang muslim menganggap hal ini sebagai perkara yang
sepele.
Wallähu ta’älä a’lam.
Sumber Darussalaf.or.id dari Assalafy.org/mahad/?p=268 Judul: Tuntunan Syariat Dalam Masalah Buang Hajat
Komentar
Posting Komentar