Pengalaman Sebagai Mahasiswi Muslimah di Australia
Seharusnya saya merasa senang dengan pengalaman pertama saya studi di luar negeri. Namun dengan jilbab di kepala dan jaket tebal untuk menahan cuaca dingin, saya bertanya-tanya bagiamana lingkungan yang asing ini akan berdampak pada kehidupan saya sebagai seorang muslimah.
Begitu banyak kekhawatiran yang saya rasakan saat pertama tiba di Melbourne. Namun sekarang saya sadari bahwa perasaan demikian wajar bagi siapa saja yang datang dari etnis atau agama minoritas di lingkungan baru.
Di Singapura, sebagai Muslimah saya tidak merasakan hal itu - masjid tersebar di seantero negeri, restoran halal dimana-mana, dan yang terpenting populasi Muslim cukup besar.
Namun di belahan dunia lainnya, luasnya penilaian terhadap Islam yang didasarkan atas misinformasi telah memicu tindakan prejudis terhadap orang Muslim. Hal ini yang mungkin menyebabkan sebagian Muslim takut mengalami diskriminasi jika bepergian ke negara non Muslim.
Banyak kawan saya baik yang Muslim maupun non-Muslim yang penasaran dengan pengalaman saya sebagai Musliman yang studi di Australia. Saya merasa terpanggil untuk membagi pengalaman ini khususnya bagi sesama Muslimah yang ingin melanjutkan studi di Melbourne.
Tentang Islamophobia
Menurut
saya, hal utama yang menghambat kebanyakan mahasiswa Muslim melanjutkan
studi ke negara Barat adalah adanya Islamophobia. Tapi ini harus
dihadapi - Islamophobia terjadi bukan cuma di Australia tapi juga di
negara lain termasuk di negara berpenduduk Muslim.
Banyak berita tentang tindakan anti Islam selama studi saya. Termasuk demo-demo yang menentang rencana pembangunan masjid serta tuntutan pelarangan burka. Namun saya sendiri syukurnya tidak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dengan warga setempat.
Saya melihat orang Australia umumnya bersahabat dan terbuka. Jika berpapasan, biasanya mereka menyapa, dan ini membuat saya merasa diterima. Ada yang mencoba mengajak ngobrol saat berbagi meja waktu makan siang, ada pula yang membantu mengangkatkan tas belajaan saat saya naik tram.
Saya merasa selalu ada orang yang akan membantu jika saja anda mengalami masalah.Contohnya, saat terjadi penyanderaan di Martin Place, Sydney, akhir 2014. Sejumlah warga Australia menunjukkan dukungan dengan menyebarkan kampanye #illridewithyou melalui media sosial, demi membantu warga Muslim yang takut bepergiaan setelah kejadian itu. Menyadari adanya dukungan seperti ini mampu menepiskan ketakutan saya pada Islamophobia.
Banyak berita tentang tindakan anti Islam selama studi saya. Termasuk demo-demo yang menentang rencana pembangunan masjid serta tuntutan pelarangan burka. Namun saya sendiri syukurnya tidak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dengan warga setempat.
Saya melihat orang Australia umumnya bersahabat dan terbuka. Jika berpapasan, biasanya mereka menyapa, dan ini membuat saya merasa diterima. Ada yang mencoba mengajak ngobrol saat berbagi meja waktu makan siang, ada pula yang membantu mengangkatkan tas belajaan saat saya naik tram.
Saya merasa selalu ada orang yang akan membantu jika saja anda mengalami masalah.Contohnya, saat terjadi penyanderaan di Martin Place, Sydney, akhir 2014. Sejumlah warga Australia menunjukkan dukungan dengan menyebarkan kampanye #illridewithyou melalui media sosial, demi membantu warga Muslim yang takut bepergiaan setelah kejadian itu. Menyadari adanya dukungan seperti ini mampu menepiskan ketakutan saya pada Islamophobia.
Tentang jilbab
Saya
juga senantiasa khawatir mengenai pandangan orang terhadap jilbab saya,
terutama saat pertama kali menghadiri kelas Jurnalistik pertama saya di
bangku kuliah. Saya merasa mules sebab mahasiswa lainnya orang lokal
semua. Sebagai satu-satunya mahasiswa internasional saya merasa
tertekan, dan lebih-lebih lagi karena saya satu-satunya Muslimah.
Dibandingkan dengan di Singapura, ruang kuliah di Australia lebih mendorong terjadinya diskusi. Saya sering merasa tidak nyaman saat mendiskusikan topik terkait ISIS, hukum syariah. Kadang saya memilih tidak berkomentar tentang sesuatu yang saya sendiri kurang tahu demi menghindari kesalahpahaman mengenai Islam.
Namun biasanya teman-teman selalu ingin mendengar pendapat saya tentang hal ini karena ingin tahu lebih jauh tentang Islam, terutama dari seseorang yang menjalankan ajaran Islam.
Sebagai mahasiswa Jurnalistik, saya pernah meliput dan mewawancarai narasumber dari berbagai latar belakang. Saya tidak pernah merasakan ada yang bersikap bermusuhan gara-gara saya pakai jilbab. Orang Australia umumnya beradab, dan sebenarnya lebih banyak orang Islam di sini daripada yang mungkin anda duga.
Dibandingkan dengan di Singapura, ruang kuliah di Australia lebih mendorong terjadinya diskusi. Saya sering merasa tidak nyaman saat mendiskusikan topik terkait ISIS, hukum syariah. Kadang saya memilih tidak berkomentar tentang sesuatu yang saya sendiri kurang tahu demi menghindari kesalahpahaman mengenai Islam.
Namun biasanya teman-teman selalu ingin mendengar pendapat saya tentang hal ini karena ingin tahu lebih jauh tentang Islam, terutama dari seseorang yang menjalankan ajaran Islam.
Sebagai mahasiswa Jurnalistik, saya pernah meliput dan mewawancarai narasumber dari berbagai latar belakang. Saya tidak pernah merasakan ada yang bersikap bermusuhan gara-gara saya pakai jilbab. Orang Australia umumnya beradab, dan sebenarnya lebih banyak orang Islam di sini daripada yang mungkin anda duga.
Tentang melaksanakan shalat
Saya
masih ingat saat sekolah di Singapura tempat shalatnya biasanya berada
di lantai paling atas. Tidak ada tempat shalat yang baik. Saya tadinya
pikir jika di Singapura saja seperti itu, apalagi di Melbourne.
Namun kenyataannya, saya begitu kaget saat menemukan bahwa di hampir semua kampus di sini memiliki ruang shalat yang lengkap dengan tempat wudhu, karpet, dan pengatur suhu ruangan.
Jika waktu shalat pas dengan jadwal kuliah, biasanya saya akan mencari sudut-sudut ruangan untuk shalat. Saya sering melihat orang shalat di bawah pohon di lapangan terbuka kampus. Orang yang lewat biasanya memperhatikan sejenak kemudian berlalu. Orang di kampus menghargai orang lain yang menjalankan syariat agamanya masing-masing.
Jika kebetulan sedang jalan-jalan ke mal, anda bisa mempergunakan ruangan khusus untuk ibu dan bayi yang biasanya terdapat di mal, namun yang penting jangan sampai menimbulkan ketidaknyaman bagi yang lain.
Namun kenyataannya, saya begitu kaget saat menemukan bahwa di hampir semua kampus di sini memiliki ruang shalat yang lengkap dengan tempat wudhu, karpet, dan pengatur suhu ruangan.
Jika waktu shalat pas dengan jadwal kuliah, biasanya saya akan mencari sudut-sudut ruangan untuk shalat. Saya sering melihat orang shalat di bawah pohon di lapangan terbuka kampus. Orang yang lewat biasanya memperhatikan sejenak kemudian berlalu. Orang di kampus menghargai orang lain yang menjalankan syariat agamanya masing-masing.
Jika kebetulan sedang jalan-jalan ke mal, anda bisa mempergunakan ruangan khusus untuk ibu dan bayi yang biasanya terdapat di mal, namun yang penting jangan sampai menimbulkan ketidaknyaman bagi yang lain.
Tentang larangan agama
Dahulu
saya selalu panik saat harus menolak ajakan berjabat tangan dari pria
yang bukan muhrim saya. Kebanyakan non-Muslim tidak tahu bahwa orang
Muslim tidak dibolehkan bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan
muhrimnya. Saya sering mengalami situasi ini dan selalu mencoba berbagai
cara mengatasinya, termasuk tidak membiarkan kedua tangan saya kosong.
Namun setelah berulang kali, saya percaya cara terbaik adalah menjelaskan langsung secara jujur. "Maaf saya tidak berjabat tangan dengan pria," sudah cukup manjur. Banyak pria yang justru berterima kasih karena akan mencegahnya untuk malu jika nantinya bertemu dengan Muslimah dan melakukan hal yang sama.
Cara ini juga bia diterapkan jika ingin menolak makanan tidak halal atau menolak undangan ke pesta minum-minum.
Namun setelah berulang kali, saya percaya cara terbaik adalah menjelaskan langsung secara jujur. "Maaf saya tidak berjabat tangan dengan pria," sudah cukup manjur. Banyak pria yang justru berterima kasih karena akan mencegahnya untuk malu jika nantinya bertemu dengan Muslimah dan melakukan hal yang sama.
Cara ini juga bia diterapkan jika ingin menolak makanan tidak halal atau menolak undangan ke pesta minum-minum.
Tentang makanan halal
Saya
juga tadinya menyangka tidak akan banyak makanan halal di sini.
Untungnya, di Melbourne makan halal tidaklah sulit ditemukan, dan itu
bukan hanya kebab. Di pusat kota, pilihan makannya sangat beragam, mulai
dari makanan Singapura, Indonesia, India, hingga makanan Portugis pun
ada yang halal. Di kantin-kantin kampus pun demikian adanya.
Makanan halal juga dijual di supermaket biasa. Bahkan ada layanan website yang menyiapkan segala macam informasi yaitu Halal Choices.
Lalu, ada toko Asia yang umumnya menjual aneka makanan dan minuman impor dari tanah air.
Adapun penjual daging halal, tersebar di berbagai wilayah di Melbourne.
Makanan halal juga dijual di supermaket biasa. Bahkan ada layanan website yang menyiapkan segala macam informasi yaitu Halal Choices.
Lalu, ada toko Asia yang umumnya menjual aneka makanan dan minuman impor dari tanah air.
Adapun penjual daging halal, tersebar di berbagai wilayah di Melbourne.
Tentang menghargai perbedaan
Sejak
tiba dua setengah tahun lalu di sini, saya sadar bahwa segala macam
kekhawatiran saya dahulu sama sekali tidak perlu. Sebagai mahasiswi
Muslimah yang berjilbab tidaklah menghalangi saya sebab seperti di
Singapura, masyarakat Melbourne sangat multikultur.
Apapun, Melbourne — dan bahkan Australia — adalah tempat segala perbedaan dihargai dan saya harap calon-calon mahasiwa Muslim akan mendapatkan pengalaman sebagaimana yang saya alami.
Mungkin tanpda kita sadari, seringkali yang menjadi halangan adalah pandangan kita sendiri tentang masyarakat Barat.
Memang wajar saja jika ada kekhawatiran sebelum menjalaninya, namun menurut pengalaman saya, berpikir positif bisa mengatasi berbagai kekhawatiran itu.
*Siti Mokhsin, mahasiswi asal Singapura yang sedang kuliah di Melbourne. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, dan dikutip dari Meld Magazine: Student stories: The reality of being a Muslim student in Australia
Apapun, Melbourne — dan bahkan Australia — adalah tempat segala perbedaan dihargai dan saya harap calon-calon mahasiwa Muslim akan mendapatkan pengalaman sebagaimana yang saya alami.
Mungkin tanpda kita sadari, seringkali yang menjadi halangan adalah pandangan kita sendiri tentang masyarakat Barat.
Memang wajar saja jika ada kekhawatiran sebelum menjalaninya, namun menurut pengalaman saya, berpikir positif bisa mengatasi berbagai kekhawatiran itu.
*Siti Mokhsin, mahasiswi asal Singapura yang sedang kuliah di Melbourne. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, dan dikutip dari Meld Magazine: Student stories: The reality of being a Muslim student in Australia
(dtc)
Komentar
Posting Komentar