HIDUP BUKAN UNTUK SEPOTONG ROTI



HIDUP BUKAN UNTUK SEPOTONG ROTI
Hidup baginya adalah untuk berbagi. Banyak orang-orang di sekitarnya yang harus menjalani hidup susah. Jangankan sekolah, untuk urusan makan pun sulit. 
Jakarta, Selasa,13 Juli 2011Lantai 1 Gedung Asuransi Wahana Tata, di kawasan Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat. Gedung 8 lantai itu masih berada di hiruk-pikuk pusat bisnis-perdagangan megapolitan Jakarta. Lis Winardi, pagi itu memasuki kantor cabang PT Asuransi Wahana Tata. Sejak empat bulan lalu, Lis mulai mengemban amanah sebagai pimpinan di salah satu kantor cabang perusahaan asuransi umum terbesar kelima di Indonesia itu. Sebelumnya, pria bersahaja ini adalah kepala cabang Asuransi Wahana Tata di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang terbilang sukses dan berhasil.
Usianya tidak terbilang tua. Sekitar 48 tahun. Tapi siapa sangka, pria asal Kalitido, Bojonegoro, Jawa Timur, ini memiliki prinsip hidup yang patut ditiru setiap orang. Hidup baginya adalah untuk berbagi. Karena dengan berbagi kepada sesama, kita akan tahu betapa hidup ini akan terasa lebih bermakna. Lis memang dikenal sebagai sosok yang begitu peduli dan berupaya untuk selalu “ber­bagi” kepada warga “masya­ra­kat yang kurang beruntung”. Salah satunya dengan menjadi donatur tetap Lembaga Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (Lazisnu).
Sebagai eksekutif dengan 31 karyawan yang terbilang sukses, dia tak hanya memberikan hati, pikiran dan jiwanya, tapi juga “dom­petnya”. Dia selalu berusaha membersihkan hati, pikiran dan jiwa­nya de­ngan memberikan zakat-infaq-shadaqah. Dia berbagi kesuksesan de­ngan cara membantu warga masyarakat yang fakir dan miskin. Prinsipnya, se­baik-baik ma­nusia adalah yang ber­man­faat bagi o­rang lain. Baginya, keberhasilan itu tidak hanya ter­letak pada banyaknya har­ta yang berhasil dikumpulkan, tapi sebe­rapa besar kepedulian dan sikap berbagi untuk mem­bantu sesamanya.
Prinsip ini Lis dapatkan sudah sejak lama. Semenjak dia masih menjalani kehidupan sebagai anak kampung di Kalitido, Bojonegoro. Kedua orangtuanya yang merupakan petani adalah sosok yang mengajarkannya nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal. Lingkungan di sekitar rumahnya yang juga banyak ditemukan surau dan pondok pesantren cukup memberikannya kesan yang mendalam.
Walaupun Lis kecil tidak dimasukkan ke sekolah agama yang banyak terdapat di desanya, tapi orangtuanya tetap memperhatikan pendidikan agama. Sehabis pulang sekolah, Lis kecil wajib mengikuti pengajian anak-anak di surau dekat rumahnya. Kebetulan juga, surau itu didirikan oleh sang ayah. Surau itulah yang kemudian menjadi kawah candradimuka seorang anak desa bernama Lis Winardi.
Nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal yang diajarkan semenjak kecil sampai lulus Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) itulah yang akhirnya membuat kesan yang begitu dalam di benak dan pikiran Lis. Sampai akhirnya dia memutuskan merantau ke Kota Bogor, Jawa Barat, untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan. Di kampus inipun sosok Lis terlihat menonjol. Beragam aktivitas organisasi banyak digelutinya. Aksi-aksi sosial pun banyak dia laksanakan bersama teman-teman. Sosok Lis yang supel, pemurah, santun dan suka membantu membuatnya banyak memiliki kawan.
Kini, selepas lulus dari Universitas Pakuan di tahun 1989 dan meniti karir di PT Asuransi Wahana Tata, kematangan Lis dalam memaknai hidup semakin terlihat. Terutama mengenai prinsip berbagi. ”Di dalam harta kita memang ada hak orang lain. Ma­kanya, kita tidak boleh mengklaim sebagai milik kita sendiri. Kita harus membaginya kepada orang lain. Lagi pula, Allah SWT telah berjanji, siapa yang berbagi me­lalui infaq-shadaqah dari sebagian hartanya (selain zakat yang telah ditentukan ukurannya), maka harta kita akan dilipat-gandakan-Nya. Begitu pula sebaliknya, berharta tapi tidak berzakat, berarti kita telah memakan hak orang lain. Dan memang, begitulah agama Islam telah menitahkan ga­ris ajarannya: “Siapa yang mengambil harta yang bukan dengan haknya, maka adalah bagaikan orang yang telah makan akan tetapi tidak merasa kenyang dan dia akan menyaksikan akibatnya di hari kemudian.” (HR Bukhari),” ujar pria yang menjadi orang tua asuh para anak yatim di kawasan Bekasi, Jawa Barat, ini.
Peduli dan berbagi kepada sesama. Itulah sisi ke­hidupan yang dijalani dan dilakoni oleh Lis. Walhasil, seperti yang telah dijanjikan oleh Tuhan dan benar-benar telah dirasakannya, bahwa rejekinya bu­kan malah surut karena menunaikan zakat-infaq-shadaqah. Yang terjadi justru kian bertambah. ”Alhamdulillah, rejekinyaada saja dari berbagai macam cara dan terus mengalir. Memang, tidak ada kisah dan cerita orang menjadi miskin karena kesederhanaan dan kedermawanan. Karena itulah semenjak beberapa tahun lalu saya mengangkat beberapa anak yatim sebagai anak asuh saya. Mereka yang tidak mampu saya sekolahkan agar bisa meraih cita-citanya,” terang pria ramah ini.
Karena prinsip inilah, berkah dan hidayah dari Allah selalu menaungi sepanjang perjalanan hidup Yunus Yamani. Misi hidupnya memang tidak ber­tujuan menumpuk harta. Tapi, ada tujuan yang lebih hakiki, yakni bekerja sebagai bagian dari ibadah dan hidup ini mesti bermanfaat bagi banyak orang. Bekerja keras dan tuntas, bekerja cerdas dan tangkas, serta bekerja ikhlas. Juga, bermanfaat bagi banyak orang. Hablumminallah, hablumminannas. Begitulah prinsip hidupnya. “Karena itu, sebagian harta yang saya dapatkan selalu saya “belanjakan” di jalan Allah. Meskipun belum maksimal, namun jalan menuju ke sana insya Allah saya akan berusaha untuk terus melakukannya dengan lebih baik lagi,” jelas Lis dengan tulus.
Sungguh, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari seorang anak manusia bernama Lis Winardi. Baik se­bagai pribadi maupun sosoknya sebagai pengusaha dan pemimpin. Terus terang, mencermati potret dirinya, hati kami menjadi teramat tersentuh. Lantas kami berpikir, seandainya “orang-orang yang ber­un­tung” mau peduli dan berbagi pada “sesama yang kurang beruntung” seperti yang dilakukan oleh Lis Winardi, insya Allah kemiskinan yang begitu tinggi di negeri tercinta Indonesia ini, bisa dikurangi dan bahkan bisa dihilangkan.
Seandainya zakat-infaq-shadaqah men­jadi sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang berun­tung, bisa jadi kita tidak lagi mendengar dan melihat kaum dhuafa yang harus meminta-min­ta dan mengemis di ja­lan­an. Juga, anak-anak yatim-piatu yang menangis tersedu-sedu karena terlantar dan tidak ada yang mempedulikannya. Jika hal itu benar-be­nar menjadi nilai, apalagi kemudian mewujud sebagai living culture dalam masyarakat, bangsa dan negara kita yang mayoritas muslim, tentunya ma­sya­rakat, bangsa dan negara sejahtera yang kita impikan, benar-benar akan tercipta. Sebuah ma­sya­rakat yang (di antaranya) memper­li­hat­kan orang-orang kaya yang mela­pangkan harta dan bendanya untuk mem­ban­tu orang-o­rang yang miskin.
Yang pasti, dengan memadukan  prinsip bahwa bekerja adalah ibadah dan hidup ini bukan untuk sepotong roti (harus bermasalahat bagi banyak orang), telah menjadikan sosok dan pribadi Lis Winardi selalu terjaga kehidupan kesehariannya tetap dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Pun terjaga kereligiusan hati, pikiran dan jiwanya. Tentu saja tidaklah mudah menjadi sosok dan pribadi yang sederhana dan bersahaja serta religius saat seseorang itu sedang berada dalam gelimang materi dan di tengah puncak keberhasilan, kecuali mereka yang memang berhati bersih, berjiwa lapang dan berpikiran jernih, serta teguh dalam bersikap dan lurus dalam bertindak. (http://www.lazisnu.or.id/)
.

Komentar

ngepop

Pesan Silaturahim Saat Berhaji

Ulama Aceh Larang Konser Musik Kecuali yang Bernuansa Islami

Keteladanan dalam Mendidik Anak