Perempuan Saudi Memasuki Panggung Politik
Saudi Arabia, selama ini, cukup ketat membatasi
aktivitas perempuan. Lewat pemilihan umum dewan kota, ruang gerak perempuan
Saudi sedikit meluas.
============
Pesta pencoblosan suara di tangan rakyat baru saja berjalan di
Arab Saudi akhir pekan lalu. Pada pemilu di Negeri Minyak itu warga Arab Saudi
menggunakan hak pilih untuk pemilihan perwakilan tingkat kota. Pemilu pertama
kali dalam 40 tahun terakhir itu juga memberikan kesempatan kepada perempuan
Arab Saudi. Ya, untuk kali pertama, kaum hawa dapat menggunakan hak pilih.
Tidak hanya sebagai pemilih, perempuan di Negara Minyak itu pun boleh
menjadi kandidat atau memiliki hak untuk dipilih. Sebuah gejala menarik mengingat
negara kerajaan yang menerapkan prinsip konservatif itu cukup membatasi
aktivitas para perempuan. Bahkan, para wanita masih dilarang mengemudi tanpa
ditemani anggota keluarga pria.
Seperti dilansir oleh BBC, jumlah perempuan yang
terdaftar sebagai kandidat perwakilan (semacam anggota dewan) sebanyak 978
orang. Mereka bersaing dengan 5.938 kandidat laki-laki.
Beberapa kandidat perempuan menyatakan pemilu itu sebagai saat
bersejarah dalam sejarah Saudi, satu-satunya negara di mana perempuan dilarang
mengemudi kendaraan.
Fawzeya Al-Harbi, seorang kandidat perempuan dalam pemilu
kotamadya itu, mengatakan, “Kami telah menanti-nantikan kesempatan ini selama
10 tahun terakhir. Sepuluh tahun kami menanti saat di mana perempuan bisa ikut
serta dalam pengambilan keputusan sosial dan politik di negara ini.”
Perubahan bertahap ini merupakan bagian warisan almarhum Raja
Abdullah. Raja yang meninggal bulan
Januari 2015 lalu itu pada tahun 2011 mengeluarkan dekrit yang mengizinkan
perempuan untuk memilih. “Mulai pemilu mendatang, perempuan berhak mencalonkan
diri sendiri bagi keanggotaan di dewan kotamadya,” demikian sebagian isi dekrit
tersebut.
Kampanye merupakan proses yang tidak mudah bagi para kandidat
perempuan. Saudi memiliki aturan-aturan yang sangat tegas soal segregasi
(pemisahan) berdasarkan jenis kelamin, sehingga kandidat perempuan tidak bisa
menyampaikan pernyataan kepada para pemilih laki-laki kecuali ada partisi yang
membatasi mereka. Satu-satunya cara untuk mengkomunikasikan gagasan mereka
kepada para calon pemilih laki-laki adalah lewat anggota keluarga laki-laki.
Penyelenggara pemilu menyebutkan, hanya sekitar 130 ribu
perempuan terdaftar sebagai pemilih. Berbeda dengan Indonesia yang menerapkan
satu orang satu suara. Mereka harus mendaftar sebagai pemilih untuk mendapatkan
hak suara. Jumlah perempuan yang ikut pemilu di Arab Saudi pun disebut sangat
sedikit. Perbandingannya, pemilih laki-laki yang terdaftar sebanyak 1,35 juta
jiwa.
Salma al-Rashed merupakan perempuan pertama yang mendaftar
sebagai pemilih. "Rasanya sangat baik," katanya. "Perubahan
merupakan sebuah kata yang besar tapi pemilu merupakan jalan untuk memastikan
kami benar-benar diwakili," ujarnya.
Pemilihan umum jarang diadakan di Negara kaya minyak itu.
Pemilihan hari Sabtu (12/12) itu merupakan yang ketiga kalinya bagi warga untuk
memberikan suara di tingkat kotapraja. Almarhum Raja Abdullah, yang meninggal
pada bulan Januari 2015 lalu, mengeluarkan dekrit pada tahun 2011 yang
memberikan izin bagi perempuan untuk memilih.
Keputusan mengizinkan perempuan mengambil bagian dalam pemilu
telah dikeluarkan Raja Abdullah. Ketika mengumumkan reformasi, Raja Abdullah
mengatakan perempuan di Arab Saudi telah menunjukkan posisi untuk menyampaikan
pendapat dan saran secara benar.
Sebelum meninggal pada Januari 2015, dia menunjuk 30 perempuan
di negara itu sebagai penasihat Dewan Syariah.
Dan Pemilu akhir pekan lalu memperebutkan 2.100 kursi dewan.
Sekitar 1.050 wakil akan mengisi kursi tambahan melalui mekanisme penunjukan
dengan persetujuan raja.
Hasil dari Pemilu di akhir pekan itu, sebagaimana dilaporkan Belfast
Telegraph (14/12), sebanyak 20
perempuan terpilih untuk memenuhi kursi dewan daerah.
Meski hanya mewakili sekitar satu persen dari 2.100 kursi dewan,
namun hal ini disambut bahagia banyak pihak. Ini menjadi momentum awal
keterlibatan perempuan dalam demokrasi dan pemerintahan Arab Saudi.
Para kandidat ini mewakili kota terbesar di Arab Saudi hingga
desa kecil. Dari 7.000 kandidat dalam pemilu kali ini, 979 orang di antaranya
adalah perempuan.
Sebanyak 979 wanita mencalonkan diri dalam pemilu ini, sedangkan
kandidat pria 5.968 orang. Mereka bertarung untuk duduk di 2.100 kursi dewan
yang kekuasaannya dibatasi untuk urusan daerah. Para anggota dewan yang baru
akan mulai bertugas pada 1 Januari 2016 dan menjabat selama empat tahun.
Kepala Komite Pemilu (KPU) Hamad Al Omar mengatakan, ibu kota
Riyadh memiliki lebih banyak kandidat perempuan terpilih, yaitu empat orang. Dua
perempuan terpilih di provinsi timur yang merupakan konsentrasi minoritas
Syiah.
Para perempuan Arab berbahagia dengan perubahan dalam pemilu
kali ini. Kandidat berjanji untuk lebih memperhatikan kebutuhan kaum perempuan,
seperti menyediakan lebih banyak tempat untuk menyusui, membentuk pusat
komunitas olahraga, budaya, memperbaiki jalanan, pengumpulan sampah baik, dan
menghijaukan kota.
Omar mengatakan, tingkat pemilih perempuan juga lebih tinggi
dari laki-laki. Sebanyak 106 ribu dari 130 ribu perempuan terdaftar menggunakan
hak pilihnya. Sementara, pria hanya 600 ribu dari 1,35 juta orang yang
menggunakan hak pilih. "Total, 47 persen (wanita) terlibat pemilu,"
kata dia.
Di antara para kandidat yang menang adalah Salma binti Hazab
al-Otaibi yang meraih kursi di Distrik Madrika, Makkah. Kemudian Lama binti
Abdulaziz al-Sulaiman, Rasha Hafza, Sana Abdulatif Abdulwahab al-Hamam, dan
Massoumeh al-Reda akan bertugas di dewan kota di Jeddah.
Di Arab Saudi Utara, Hanouf bint Mufreh bin Ayad al-Hazimi
meraih kursi di al-Jawf, sedangkan Mina Salman Saeed al-Omairi dan Fadhila
Afnan Muslim al-Attawi menang di Provinsi Perbatasan Utara.
Dua orang wanita juga memenangkan kursi di al-Ahsa yang berada
di Arab Saudi Timur. Namun, nama mereka belum diketahui, demikian tulis Reuters.
Di provinsi yang sama, yaitu Distrik Qatif, ada Khadra al-Mubarak sebagai salah
satu pemenangnya. Aisha binti Hamoud Ali Bakri memenangkan kursi di Provinsi
Jazan. Di wilayah yang paling konservatif di Saudi, yaitu Qassim, ada dua
pemenang wanita. Namun, nama mereka tidak segera diumumkan.
Amerika Serikat memuji pemilu di Saudi Arabia sebagai “tonggak
bersejarah” ketika kaum perempuan memenangkan kursi dewan kota dalam pemilihan
pertama yang terbuka bagi pemilih dan kandidat perempuan.
Human Rights Watch menilai bahwa perempuan Saudi cukup sulit
untuk mendaftar dan mengikuti pemilu. Kelompok aktivis HAM itu mengatakan
banyak pusat pendaftaran pemilih yang terletak sangat jauh dengan tempat
tinggal para pemilih perempuan atau pusat pendaftaran itu sulit ditemukan.
Jauh sebelum berlangsung Pemilu, seorang ulama Arab Saudi
terkenal bernama Abdul Rahman bin Nassir Al Barrak mengeluarkan fatwa
menyatakan pemilihan umum adalah haram hukumnya dalam Islam.
Situs emirates247.com melaporkan, Kamis (17/1/2015),
menurut Barrak, mengadakan pemilihan umum untuk menentukan presiden atau bentuk
kepemimpinan lain terlarang dalam Islam.
Menurut Barrak, pemilihan umum itu merupakan bentuk kebudayaan
Barat dan tidak pernah dikenal di negara Islam. "Mengadakan pemilihan umum
untuk memilih presiden atau wakil rakyat di parlemen seperti di negara Barat
itu haram hukumnya. Itu berasal dari musuh Islam," tulis dia dalam akun Twitter-nya,
seperti dikutip surat kabar Saudi.
Lebih lanjut dia menuturkan, memilih seorang pemimpin harus
dilakukan oleh seorang pengambil keputusan, bukan oleh publik. "Pemilu itu
sistem yang buruk bagi negara muslim. Pemilu adalah sistem yang dibawa oleh
partai-partai anti-Islam yang telah menjajah tanah muslim," tandasnya. (BN)
Komentar
Posting Komentar