Saudi-Iran Berpotensi Konflik Militer


Hasil gambar untuk saudi eksekusi pendeta syiah

Dua negara di kawasan Timur Tengah –Saudi Arabia dan Iran—terus terlibat konflik. Tidak menutup kemungkinan, perang antara dua negara OPEC itu pecah setiap saat.
=====================  


Hubungan Saudi Arabia dengan Iran semakin memburuk, khususnya setelah kejadian eksekusi mati tokoh Syiah Nimr al-Nimr pada 2 Januari 2016 lalu. Setelah berita eksekusi tersebut meluas, pengunjuk rasa di Syiah menyerang Kedutaan Besar Saudi di Teheran. Puncaknya, Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran atas serangan tersebut.

Pada hari Senin (4/1), pemerintah Saudi langsung mengumumkan bahwa semua penerbangan dari dan ke Iran dibatalkan. Mengutip CNN, di hari itu pula, Bahrain mengumumkan memutus hubungan diplomatik dengan Iran yang dianggap sebagai gangguan berbahaya bagi Bahrain dan negara Arab lainnya.

Uni Emirat Arab pun mengumumkan bahwa hubungan diplomatiknya dengan Iran sedang menurun. UEA juga menarik duta besarnya di Teheran. Sebagian negara anggota Uni Emirat Arab menurunkan hubungan diplomatiknya, namun beberapa lainnya tidak ikut. Beberapa negara yang tak ikut langkah Saudi adalah Kuwait, Qatar, dan Oman.

Dukungan diplomatik terhadap Arab Saudi semakin menyebar ke Afrika. Sudan, yang mayoritas penduduknya Muslim Sunni, mengusir duta besar Iran dan seluruh misi diplomatik Iran di negara itu. Sudan juga menarik duta-besarnya dari Iran.

Pemerintah Saudi mengumumkan langkah Sudan tersebut dan mengatakan bahwa Sudan mengambil langkah itu karena merasakan gangguan Iran di wilayah tersebut lewat pendekatan sektarian.

Hubungan Iran dan Arab Saudi belakangan ini terus memanas. Selain pertengkaran diplomatik, tidak menutup kemungkinan, perang antara dua negara OPEC tersebut dapat terjadi. Iran memiliki kekuatan militer yang mungkin digunakan untuk melawan Saudi. Seperti dilansir The National Interest, kekuatan itu antara lain Rudal Jelajah Soumar, Pasukan Quds (Pengawal Revolusi Iran Corps), Kapal Selam Ghadir Class Midget yang dirancang untuk beroperasi di perairan dangkal Teluk Persia, Rudal balistik, dan serangan cepat.

Ketegangan Saudi dan Iran sulit dianggap sebagai ketegangan 'biasa.' Keduanya telah lama terlibat perang pengaruh. Kedua negara ini sama-sama produsen minyak terbesar di jazirah teluk dan menguasai jalur strategis perdagangan minyak. Secara terbuka keduanya menyatakan posisi mereka sebagai negara dengan ideologi yang berbeda. Saudi dengan pemeluk Suni terbesar, dan Iran sebagai negara dengan pemeluk Syiah terbesar.

Perang pengaruh antara kedua negara tampak nyata di konflik Suriah dan Yaman. Perang di Suriah juga secara transparan memperlihatkan dukungan dua negara besar. Amerika yang mendukung Saudi, dan Rusia mendukung Iran, yang direpresentasikan pada dukungan untuk Bashar al Assaad.

"Pecahnya hubungan diplomatik antara Saudi dan Iran bisa meluas dan tak terkontrol. Saat ini, kita sedang melihat dua negara Islam yang memiliki kekuatan seimbang dan berada tepat di pusat Timur Tengah. Keduanya mulai mengarah pada konfrontasi langsung, bukan lagi perang pengaruh. Kita harus hati-hati untuk menjaga eskalasi ini agar tak terus mengarah pada konfrontasi militer," ujar Fawaz Gerges, ketua Studi Timur Tengah Kontemporer di London School of Economic, Inggris.

Sementara Vladimir Ahmedov, seorang peneliti Institut Studi Asia di Akademi Sains Rusia, menyebut konflik ini sebagai situasi yang menakutkan. Sebab, konflik ini juga memiliki dimensi religius, sehingga sangat mungkin menjadi perang terbuka antara Suni dan Syiah.

Analisis kedua ahli tersebut ada benarnya. Memburuknya hubungan Arab-Iran juga bisa memperdalam celah atas kebijakan minyak di negara-negara yang tergabung dalam OPEC, di mana negara anggotanya menghasilkan sekitar sepertiga dari minyak mentah dunia.

"Persaingan harga pada tahun 2016 akan menjadi peluang, kecuali mereka terpicu oleh bukti adanya perubahan dalam strategi Saudi, penundaan serius dalam pencabutan sanksi Iran, pertumbuhan permintaan dan atau penyusutan suplai dari negara non-OPEC," kata David Hufton  Direktur, perusahaan minyak PVM, dalam sebuah catatan penelitian yang dikutip oleh Wall Street Journal, Senin (4/1).

Konflik minyak, agama, dan pengaruh inilah yang menjadi latar belakang kecemasan sejumlah negara terhadap kian memanasnya suhu di Timur Tengah. Peningkatan tensi yang terjadi antara Iran dan Saudi membuat sejumlah negara ikut ciut. (BN)

Komentar

ngepop

Upacara Natal Bersama Haram

Bos Properti Jepang Jadi Mualaf Setelah Membangun Masjid Untuk Karyawannya

19 TANDA KEMATIAN YANG MULIA (KHUSNUL KHATIMAH)