Profesor Atheis Tanya Di Mana Tuhan, Jawaban Mahasiswa Membuatnya Terbungkam
“Tuhan itu tidak ada. Tidak seorang pun bisa membuktikan keberadaan Tuhan. Kalaupun ada, Tuhan hanya ada dalam pikiran manusia. Kalian yang meyakini Tuhan ada, coba tunjukkan di mana Tuhan?,” kata Profesor atheis di depan mahasiswanya. Semua terdiam. Beberapa mahasiswa berusaha melirik teman di sebelahnya untuk melihat apakah ada yang akan menjawab pertanyaan itu.
Beberapa detik berlalu, ruang kuliah hening. Sang profesor tersenyum simpul. Puas karena tak seorang pun dapat membantah pernyataannya. Namun... seorang mahasiswa mengangkat tangannya.
“Maaf, Prof,” ucapnya memulai. Ketika dosen itu mempersilakan dengan isyarat, ia meneruskan kata-katanya. “Apakah Profesor punya akal?”
Wajah sang profesor mendadak berubah. Sedikit merah. Pertanyaan itu, meskipun disampaikan dengan nada yang santun, baginya merupakan penghinaan.
“Tentu saja punya. Kalau tidak punya akal, tidak mungkin aku mengajar kalian, tidak mungkin aku menjadi profesor, tidak mungkin aku bisa menghasilkan karya ilmiah yang demikian banyak.”
“Kalau demikian, mohon tunjukkan di mana akal Profesor,” wajah profesor bertambah merah. Ia seperti dipermainkan oleh mahasiswanya itu.
“Profesor,” lanjut sang mahasiswa, “tidak semua yang ada harus kelihatan. Tidak semua yang ada bisa dibuktikan secara indrawi. Jika akal Profesor saja tidak bisa ditunjukkan, demikian juga Tuhan. Tuhan ada. Tetapi kita tidak bisa melihatnya.”
Profesor itu terdiam untuk beberapa saat. Lalu ia mengemasinya bukunya dan meninggalkan ruang kuliah.
***
Di zaman Abu Hanifah, sekelompok kaum Sumaniyah yang atheis mengajaknya berdebat. Ulama yang juga dikenal dengan nama Imam Hanafi itu meladeninya. Namun, debat tak kunjung selesai selama berjam-jam karena orang-orang atheis itu tetap pada pendirian bahwa alam semesta ini terjadi secara kebetulan, bukan diciptakan oleh Allah. Abu Hanifah kemudian meminta debat itu dilanjutkan pada hari lain.
Ketika tiba hari dan waktu yang disepakati, Abu Hanifah terlambat. “Mana Abu Hanifah? Ia terlambat, tak menepati janji?” kata orang-orang Sumaniyah kepada kaum muslimin yang hendak menyaksikan perdebatan itu.
“Mengapa kamu terlambat? Kemarin kamu mengatakan Allah itu ada dan memperhitungkan semua amalmu, mana bukti semua kata-katamu?” seorang tokoh Sumaniyah segera mencerca dengan serentetan pertanyaan begitu Abu Hanifah datang.
“Wahai semuanya,” jawab Abu Hanifah, “Jangan terburu-buru menilaiku. Saat aku hendak menyeberangi sungai, aku tidak mendapatkan perahu. Tak ada satu pun perahu di sana.”
“Lalu bagaimana kau bisa kemari?”
“Ada sesuatu yang aneh terjadi”
“Aneh? Apa itu?”
“Aku berdiri di tepi sungai. Menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari barangkali ada perahu, sambil berharap semoga Allah memudahkanku datang kemari. Tiba-tiba, secara kebetulan ada angin berhembus kencang. Lalu ada petir besar menyambar. Jika ia menyambar rumah, mungkin rumah itu akan roboh. Tapi secara kebetulan petir itu menyambar sebuah pohon besar, lalu pohon tersebut terbelah menjadi dua. Secara kebetulan, robohnya ke sungai. Lalu secara kebetulan datanglah potongan besi dan ada dahan yang masuk ke sana membentuk kapak. Secara kebetulan kapak itu bergerak-gerak menghantam potongan pohon tersebut dan jadilah sebuah perahu. Tak berhenti di situ, ada dua ranting yang jatuh ke sungai dan menempel di sisi kanan dan sisi perahu, setelah itu perahu tersebut mendekat padaku dan aku naik. Begitu aku di atasnya, perahu itu mendayung sendiri dengan cepat hingga aku bisa tiba di sini. Nah, begitu ceritanya. Sekarang, mari kita lanjutkan diskusi kita, apakah alam semesta ini tercipta secara kebetulan atau tidak?”
“Tunggu sebentar! Kau ini waras atau tidak?” tanya mereka yang masih terheran-heran dengan cerita Abu Hanifah.
“Waras”
“Tapi ceritamu itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebuah perahu bisa tercipta dari petir yang menyambar secara kebetulan lalu terpotong secara kebetulan dari pohon dan ranting jatuh menempel di sisi kanan dan kiri perahu. Tidak mungkin. Untuk membuat perahu dibutuhkan orang yang mengerjakannya, memotong kayunya, memasang tali, membuat sampan dan seterusnya.”
“Subhanallah,” jawab Abu Hanifah, “Kalian mengatakan bahwa langit, bumi, gunung, laut, manusia, hewan, matahari, bulan dan bintang semuanya da secara kebetulan; tapi mengapa kalian tak percaya bahwa ada satu perahu yang tercipta secara kebetulan?” jawaban itu membuat orang-orang atheis Sumaniyah terbungkam. Mereka tak berkutik.
***
Orang-orang atheis, bahkan orang-orang liberal, sering menjadikan akal sebagai hakim dalam menerima atau membantah sesuatu. Namun sesungguhnya logika mereka lemah lagi cacat ketika menolak Allah dan syariatNya. [Muchlisin BK/Tarbiyah]
Komentar
Posting Komentar